ASAL USUL DAN SEJARAH SUKU BANGSA
DAYAK
Dayak
merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi
berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing
terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan
ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan
Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.
Kelompok
Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub
(menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan
mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi
kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas.
Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir
pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis
Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya
Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan
405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus
urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka
menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah
Kalimantan.
Mereka
menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan
nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal
katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut
sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang
Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan
Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh
yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan
menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena
suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit
(Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak
Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai
latar belakang sejarah sendiri-sendiri.
Namun
ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama
"Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan
diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang
diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang
artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau
perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini
banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi)
yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh
tradisinya.
Kalimantan
Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan
Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak,
yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama
yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan
Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang
masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah
Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum
bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar
luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan
agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu.
Propinsi
Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi
cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat.
Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di
Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak
mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya
masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab
Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak,
kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan
mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral
dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru
yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.
Hal
ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan
dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena
sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi
cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi
masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa
itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para
pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam
dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat
lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut
yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun
1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan
kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.
Masyarakat
Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap
tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala
Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian
mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya:
misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata
(penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak Mali) dan
lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan
budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.
Adapun
segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan
lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai
peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai
perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke
pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan
Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih
asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka
berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan
dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa
akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan
keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir
berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu)
ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani
atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya
urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai,
karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara
lainnya.
Untuk
mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat
setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang
dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam
suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar
pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada
kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah
asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.
Masyarakat
Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang
Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka
mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh
yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan
mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin
wilayah yang mereka segani.
Bangsa
Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang tersebar
diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri
cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 4 kelompok besar, 1
kelompok kecil yakni:
KENDAYAN / KANAYATN GROP
Dayak
Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya
di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan
sekitarnya.mempunyai gerak tari, enerjik, stakato, keras.
RIBUNIC / JANGKANG GROP/ BIDOIH /
BIDAYUH
Dayak
Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll.
Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan
membuka, tidak kasar dan halus.
IBAN / IBANIC
Dayak
Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur,
Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah
penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang
dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu)
Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam.
mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.
BANUAKA" GROP
Taman,
Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di
Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirip kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih
halus.
KAYAANIK, PUNAN, BUKAT DLL.
Selain
terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya,
masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena menyebar
dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali /
ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah kab. ketapang. kemudian Dayak
Kabupaten Ketapang,Daerah simpakng seperti Dayak Samanakng dan Dayak Kualan,
daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning.
Daerah Manjau dsb.
Kemudian
Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas dan
Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah
Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain.
Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: dayak Keninjal(mayoritas tanah pinoh;antara
lain desa ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris
dll)dayak Kebahan (antara lain desa:poring,nusa kenyikap, Kayu Bunga, dll yang
memiliki tari alu dan tari belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh
(antara lain desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen
(Jongkong, sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai
bakah/sungai mangat,nyanggai,nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa
tanjung beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak
ranokh/anokh (antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak sebruang
(antara lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk kelompok
kal-teng), Leboyan.
BAHASA YANG DI GUNAKAN OLEH SUKU
DAYAK
Bahasa
yang digunakan termasuk kelompok Ibanic group seperti halnya kelompok Ibanic
Lainnya:Kantuk, bugao, desa, seberuang,Ketungau, sebaruk dan kelompok
Ibanic lainnya. Perbedaannya adalah
pengucapan / logat dalam kalimat dengan suku serumpun yakni pengucapan kalimat
yang menggunakan akhiran kata i dan e, i dan y, misalnya: Kediri” dan Kedire”,
rari dan rare, kemudian inai dan inay, pulai dan pulay dan penyebutan kalimat
yang menggunakan huruf r ( R berkarat ), serta logat pengucapannya, walauun
mengandung arti yang sama.
ORGANISASI SOSIAL PADA SUKU DAYAK
Sistem Kekerabatan
Sistem
kekerabatan orang Dayak Kalimantan Tengah, baik Ngaju, Ot-Danum maupun
Ma’anyan, berdasarkan prinsip keturunan ambilineal, yang menghitungkan hubungan
kekerabatan untuk sebagian orang dalam masyarakat melalui orang laki-laki dan
untu sebagian orang yang lain dalam masyarakat itu juga, melalui orang-orang
wanita.
Pada
masa dahulu, pada waktu di daerah Kalimantan Tengah masih ada rumah-rumah
panjang, maka kelompok kekerabatan yang terpenting dalam masyarakat mereka
adalah keluarga-ambilineal kecil. Bentuk keluarga ini timbul kalau ada
keluarga-luas yang utrolokal. Untuk memperkuat rasa identitet itu, maka
dikembangkan orientasi terhadap nenek moyang yang hidup dua sampai tiga
angkatan yang lampau.
Pada
masa sekarang, kelompok kekerabatan yang terpenting adalah keluarga-luas
utrolokal yang di Kalimantan Tengah biasanya menjadi isi dari suatu rumah
tangga. Rumah tangga ini juga berlaku sebagai kesatuan fisik misalnya dalam
sistem gotong royong, dan sebagai kesatuan rohaniah dalam upacara-upacara agama
Kaharingan. Setiap keluarga-luas mempunyai ruh pelindung sendiri, dan beberapa
di antaranya memuja ruh-ruh nenek moyangnya sendiri. Kecuali itu, setiap rumah
tangga Kaharingan mempunyai pantangan terhadap makanan khusus yang harus
ditaati oleh warga-warganya. Kewargaan dari suatu rumah tangga tidak statis,
karena kewargaan anggota-anggotanya semata-mata tergantung dari tempat tinggal
yang ditentukan pada waktu ia mau menikah, padahl ketentuan itu dapat diubah
menurut keadaan setelah menikah. Jika seorang bersama keluarganya kemudian
pindaj keluar dari rumah itu, pertalian fisik dan rohani dengan rumah-tangga
semula pun turut berubah.
Seperti
halnya dengan suku-suku bangsa lain di dunia, saat peralihan yang penting dalam
lingkaran hidup orang Dayak Kalimantan Tengah adalah perkawinan. Pada orang
Dayak ada perkawinan yang dianggap ideal dan amat diingini oleh umum, yaitu
perkawinan yang antara dua orang bersaudara sepupu yang kakek-kakeknya adalah
saudara sekandung, yaitu apa yang disebut hajenan dalam bahasa Ngaju (saudara
sepupu derajat kedua). Selain itu juga dianggap baik perkawinan di antara dua
orang saudara sepupu yang ibu-ibunya bersaudara sekandung, dan di antara
cross-cousin. Perkawinan yang dianggap sumbang (sala horoi dalam bahasa Ngaju),
adalah perkawinan di antara saudara sepupu yang ayah-ayahnya adalah bersaudara
sekandung (patri-parallel cousin), dan terutama sekali perkawinan di antara
orang-orang dari generasi yang berbeda, misalnya antara seorang anak dengan
orang tuanya, atau antara seorang gadis dengan mamaknya. Persetubuhan di antara
seorang mamak dengan kemenakannya dianggap sedemikian buruknya, sehingga untuk
itu perlu diadakan upacara sebagai penghapus dosa. Dalam hal ini kedua orang
yang bersalah tadi diharuskan makan dari dulang tempat makan babi sambil merangkak
di hadapan warga desa yang sengaja diundang untuk menyaksikan upacara tersebut.
Pantang-pantang kawin tersebut, jika dilanggar berarti tulah besar yang menurut
kepercayaan orang Ngaju dan Ot-Danum dapat mendatangkan bencana bukan saja pada
orang-orang yang bersangkutan, tetapi juga pada seluruh warga desa, sehingga
perlu dinetralisasi dengan upacara penawar seperti yang diceritarakan di atas.
Orang-orang Dayak Kalimantan Tengah tidak melarang gadis-gadis mereka menikah
dengan orang-orang dari suku bangsa lain, asalkan saja laki-laki “asing”
tersebut bersedia untuk tunduk kepada adat mereka, dan bersedia terus berdiam
di desa mereka.
Pada
suku-suku bangsa Ngaju dan Ot-Danum, seorang anak yang telah mencapai umur 20
tahun bagi seorang laki-laki dan 18 bagi seorang wanita, biasanya dicarikan
jodoh oleh orang tuanya. Pada zaman dahulu, orang Dayak berkuasa penuh atas
pemilihan jodoh anak-anak mereka, tetapi kini keadaan sudah berubah, dan para
pemuda-pemudi yang sudah bersekolah boleh bebas mencari teman hidupnya
masing-masing, asalkan calon mereka mendapat persetujuan dari orang tua mereka.
Maka biasanya orang tua si pemuda adalah pihak pelamar, dan untuk hal itu
mereka akan pergi ke rumah orang tua si gadis untuk menyerahkan hakumbang
auch(bahasa Ngaju), yaitu semacam uang lamaran sebesar Rp 10-Rp 500 (pada tahun
1960), sambil menerangkan maksud kedatangannya. Sesudah itu orang tua si gadis
akan mengumpulkan semua kaum kerabat mereka yang dekat, dan membicarakan
masalahnya dengan mereka. Selama beberapa hari sebelum keputusan dapat diambil,
para kerabat dekat tersebut dengan saksama akan melakukan penyelidikan tentang
tingkah laku si calon menantu untuk mengetahui: apakah ia seorang yang berwatak
baik, apakah ia bukan keturunan budak, dan apakah ia bukan keturunan hantuen.
Hakumbang auchsegera dikembalikan jika ternyata bahwa si pemuda tidak memenuhi
syarat, dan itu berati bahwa pinangan ditolak.
Kalau
lamaran diterima, maka diadakan upacara peresmian pertunangan dan perundingan
mengenai langkah-langkah selanjutnya. Biaya pesta ini seluruhnya ditanggung
oleh pihak keluarga si gadis, dan binatang yang khusus disembelih pada
kesempatan ini adalah babi. Menyembelih ayam untuk pesta ini dianggap hina.
Sebelum dimulai dengan perundingan yang dilakukan pada tengah hari, pihak
laki-laki menyerahkan hadiah-hadiah yang berupa sehelai bahalai (sarung panjang
untuk wanita), bahan kain untuk kebaya, minyak wangi, cincin emas dan
sebagainya, tergantung dari kemampuan yang memberi. Setelah ini, segera
dimulailah perundingan antara kedua belah pihak untuk menentukan antara lain
hari pernikahan, besarnya biaya yang harus disumbangkan oleh pihak laki-laki
untuk membiayai pesta perkawinan, besarnya emas kawin (Ngaju palaku), dan
sebagainya.
Jangka
waktu di antara pesta pertunangan dengan pesta perkawinan adalah di antara satu
bulan sampai tiga tahun, tergantung dari hasil keputusan perundingan. Sebelum
melakukan upacara perkawinan, seorang gadis jika kebetulan masih mempunyai
kakak perempuan yang sehingga waktu itu belum juga kawin, harus juga
menghadiahkan kakaknya tersebut sebuah gong atau keramik Cina, untuk menolak
bencana yang akan terjadi di dalam perkawinannya, karena sudah berani
melangkahi hak-hak kakaknya. Hadiah ini oleh orang Ngaju disebut panangkalau.
Adat pelamaran yang diuraikan di atas berlaku pada masyarakat Ngaju, tetapi
dengan beberapa perbedaan kecil juga pada orang Ot-Danum.
Adat
melamar terurai di atas juga terdapat pada suku bangsa Dayak Ma’anyan yang
menurut Hudson disebut pipakatan yaitu perkawinan yang diurus oleh orang tua,
karena di-mapakat-i, (dimufakati) oleh orang tuanya, tetapi selain bentuk
perkawinan tersebut di atas, pada orang Ma’anyan ada satu bentuk perkawinan
lagi yang pada dewasa ini sudah mulai umum, yaitu ijari(berasal dari kata jadi
atau lari), atau kawin lari. Walaupun namanya “kawin lari” tetapi bukan berarti
bahwa dengan larinya sepasang merpati itu, perkawinan sudah dapat terjadi.
Larinya itu hanya baru merupakan tindakan pertama menuju ke upacara perkawinan
adat. Demikianlah jika ada dua orang yang sepakat untuk hidup bersama, maka
mereka lari menuju ke rumah kepada adat yang disebut panghulu, atau ke rumah
seorang kawan baik yang mempunyai kedudukan baik di dalam masyarakat. Kepada
tokoh-tokoh itu mereka sampaikan keputusan hati mereka, dan tokoh itulah yang
kemudian menghubungi orang-orang tua kedua belah pihak tersebut. Jika orang tua
tidak keberatan, maka kontrak perkawinan segara dibuat, dan upacara perkawinan
darurat daoat dilangsungkan dengan cepat.
Pesta
perkawinan yang dilangsungkan ini disebut kawin setengah. Setelah selesai
berlangsungnya pesta perkawinan ini, dua sejoli tersebut sudah boleh hidup
bersama sebagai suami isteri untuk waktu tiga bulan. Dalam waktu itu mereka
diwajibkan untuk berusaha mengumpulkan biaya guna membeayai pesta perkawinan
menurut adat. Dalam usahanya ini mereka seringkali mendapat bantuan dari
kerabatnya yang mampu, umpamanya mereka diperbolehkan untuk menyadap karet
diladang karetnya. Perkawinan semacam ini tidak selalu dapat berlangsung dengan
lancar, karena perundingan gagal bukan saja karena soal besarnya mas kawin,
tetapi juga persoalan tempat kediaman setelah nikah dari keduanya itu. Ijari
juga dijalankan oleh orang-orang yang perjodohannya tidak disetujui oleh
orang-orang tuanya.
Perkawinan
orang Dayak Kalimantan Tengah pada umunya adalah monogami, hal ini bukan saja
berlaku pada mereka yang beragama Nasrani, tetapi juga pada mereka yang
beragama Kaharingan. Adat kaharingan sebenarnya tidak melarang seorang
laki-laki mengambil lebih dari seorang isteri, tetapi dalam prakteknya hal itu
jarang sekali dapat dilakukan, karena adat wajib membayar palakulagi yang bukan
sedikit jumlanya itu.
Di
Kalimantan Tengah angka perceraian adalah cukup tinggi. Menurut Hudson, ditiga
desa di daerah orang Ma’anyan, 25% dari perkawinan-perkawinan diakhiri dengan
perceraian. Perceraian pada orang Ngaju, Ot-Danum, maupun Ma’anyan biasanya
terjadi karena tidak setianya salah satu pihak. Perceraian sebagai akibat
seorang isteri mandul tak pernah terjadi, karena ada adat mengadopsi anak yang
dilakukan secara luas. Pada perceraian, anak-anak yang masih kecil biasanya
ikut dengan ibunya, sedangkan anak-anak yang sudah agak besar menjadi
tanggungan kaum kerabat dari kedua belah pihak menurut keadaan.
SISTEM KEMASYARAKATAN
Seperti
telah dikatakan di atas, Propinsi Kalimantan Tengah terdiri dari satu kotamadya
dan lima kabupaten. Kotamadya tersebut adalah Palangka Raya yang didirikan di
atas wilayah desa Pahandut di Kabupaten Kapuas. Palangka Raya adalah ibu kota
Propinsi Kalimantan Tengah. Adapun kelima kabupaten Kalimantan tersebut adalah:
Kotawaringin Barat
(ibukota: Pangkalan Bun) merupakan daerah aliran
sungai-sungai Kotawaringin, Lamandau, an Arut.
Kotawaringin Timur
(Ibukota: Sampit) merupakan daerah aliran Sungai-sungai
Pembuan (Seruyan), dan Sampit (Mentaya).
Kapuas (Ibukota: Kuala
Kapuas) merupakan daerah aliran Sungai-sungai Katingan
(Mendawai), Kahayan dan Kapuas.
Barito Selatan
(Ibukota: Muntok) merupakan daerah aliran Sungai-sungai
Patai, Telang, Dayu, Paku karau, dan Ayuh.
Barito Utara (Ibukota:
Muara Teweh) merupakan daerah aliran Sungai-sungai
Montalat, Teweh, Lahai, Busang, dan Murung.
Propinsi
Kalimantan Tengah dikepalai oleh seorang Gubernur dan Kebupaten dikepalai oleh
seorang Bupati yang diangkat oleh Gubernur. Berhubung kesukaran komunikasi di
Kalimantan Tengah, maka pengaruh seorang Bupati menjadi besar sekali. Dulu
Kabupaten dibagi menjadi beberapa kewedanaan, dan masing-masing kewedanaan
dibagi lagi menjadi kecamatan-kecamatan, tetapi sejak tahun 1964 kawedanaan
dihapuskan. Kecamatan selanjutnya dibagi lagi ke dalam desa-desa yang dikepalai
oleh seorang pembekal. Di dalam satu desa di samping ada seorang pembekal yang
merupakan kepala desa urusan adiministratif pemerintahan desa, ada seorang
kepala lagi yang khusus mengurus adat setempat yang disebut panghulu. Para
panghulu tersebut berada di bawah seorang kepala adat di tingkat kecamatan yang
disebut demang. Panghulu dari suatu desa dalam hal mengurus adat desanya didampingi
oleh satu dewan orang-orang tua yang di daerah Ma’anyan disebut mantir.
Seperti
telah diterangkan di muka penduduk Kalimantan Tengah, selain mempunyai
desa-desa induk, juga mempunyai desa-desa ladang semi-permanen. Jika mengingat
mata pencaharian hidup orang Dayak Kalimantan Tengah adalah berdasarkan
perladangan yang harus berpindah-pindah, maka rupa-rupanya desa asli dari
mereka adalah justru desa ladang yang semi-permanen dan bukan desa induk yang
permanen. Menurut Hudson, desa-desa induk adalah rupa-rupanya bentuk kesatuan
setempat dibentuk oleh Pemerintah Kolonial sejak kira-kira tahun 1856. Pada
dewasa ini, walaupun sudah ada desa-desa induk yang permanen, tetapi karena
mata pencaharian hidup orang Dayak Kalimantan Tengah masih tetap berladang, maka
sebagian besar dari orang desa, terutama yang masih kuat bekerja, hidup di
desa-desa ladang mereka untuk lebih dari enam bulan tiap-tiap tahun.
Pemerintahan
desa. Pemerintahan desa secara formil berada di tangan pembekal dan penghulu.
Pembekal bertindak sebagai pemimpin administratif, dan penghulu sebagai kepala
adat dalam desa. Syarat untuk menjadi pembekaladalah kemampuan menulis dan
membaca huruf latin, mempunyai rumah dan mempunyai pengaruh di desanya. Adapun
syarat bagi seorang panghulu adalah keahlian dalam soal-sola adat. Demikian
seorang ahli adat, panghulu harus bertindak dalam hal memutuskan
perkara-perkara hukum adat dan menjadi wakil desanya pada upacara-upacara adat
yang diadakan di desa tetangga. Kedudukan pembekal dan panghulu sangat terpandang
di desa. Mereka memperoleh jabatan mereka melalui pemilihan oleh warga desa.
Dahulu kedua jabatan dirangkap oleh seorang kepala desa yang disebut patih,
tetapi kemudian karena pekerjaan administratif makin bertambah dengan
kemajuannya zaman, maka terjadi pemisahan tersebut.
Hukum
Adat. Hukum adat orang-orang Dayak di seluruh Kalimantan, termasuk juga dari
Kalimantan yang kini menjadi wilayah Malaysia dan Brunai, telah pernah
diseragamkan dalam suatu musyawarah besar yang diadakan di desa Huron Anoi (Tumbang
Anoi) Kahayan Hulu, Kalimantan Tengah. Musyawarah ini berlangsung di antara 22
Mei sampai dengan 24 Juli 1894. Musyawarah ini yang oleh orang Dayak Kalimantan
Tengah dikenal sebagai Perdamaian Tumbang Anoi, dihadiri oleh kepala-kepala
adat dan demang-demang dri antara lain Kalimantan Selatan, Barat, Timur, dan
juga dari Utara. Di dalam musyawarah tersebut telah diseragamkan garis-garis
besar hukum adat, agar dapat dijadikan pedoman bagi seluruh orang Dayak seluruh
Kalimantan, agar tidak terjadi lagi kesimpang-siuran yang dapat menimbulkan
pertentangan di antara sesama orang Dayak. Sejak itu hukum adat yang berlaku
diseluruh Kalimantan adalah berdasarkan keputusan musyawarah tersebut.
Hukum
adat Kalimantan menurut Hadson adalah hukum setempat yang tidak tertulis.
Sanksi dari hukum adat kebanyakan berupa pemberian ganti kerugian (Ma’anyan
danda). Maksud pembayaran ganti kerugian adalah mengembalikan keseimbangan
ketenangan masyarakat yang dikacaukan oleh kejahatan seperti misalnya
pembunuhan., melarikan isteri orang, dan sebagainya. Hukum adat selain
menentukan hukuman terhadap pelanggaran adat yang berupa denda secara materiel,
juga mengharuskn si pelanggar membayar denda secar upacara, yaitu dengan maksud
memulihkan keseimbangan alam dengan jalan mengambil hati para dewa agar tidak
marah lagi. Demikian maka setiap dandadapat terdiri dari dua bagian, yaitu
pembayaran berbentu benda-benda materiel (uang, benda-benda antik) dan
berbentuk sajian binatang kepada para dewa. Suatu upacara yang penting dalam
rangka ini adalah upacara memercikkan darah binatang sajian ke sekililing desa,
dengan maksud sebagai penawar. Upacara ini pada orang Ma’anyan disebut pilah.
Upacara pilah dilakukan misalnya jika di desa telah terjadi pelanggaran
pantangan kawin, sumbang, zina. Untuk penawarnya harus dikurbankan seekor babi
dan darahnya dipercik-percikkan pada pohon-pohon buah-buahan yang tumbuh di
sekeliling desa dengan secabang daun-daunan, dengan maksud agar pohon-pohon
tersebut dapat berubah lagi dengan baik. Upacara tersebut juga terdapat di
antara orang Ngaju dan Ot-Danum, yaitu terutama jika terjadi persetubuhan di
antara seorang mamak dengan kemenakannya.
Keputusan
hukum adat tidak pernah dijatukan oleh seorang, melainkan oleh suatu sidang
yang terdiri dari dewan orang tua di bawah penghulu sebagai ketua. Dalam
mengambil keputusan, sidang hukum adat ini harus selalu memperhatikan dua dasar
jiwa hukum adat, yaitu menanyakan apakah perkara yang sama ini pernah terjadi
sebelumnya, dan kedua, berusaha agar hukuman yang akan dijatuhkan itu
berdasarkan keadilan. Karena berpedoman kepada dua prinsip dasar tersebut, maka
hukum adat orang Dayak adalah luwes dan mudah berubah. Jika sidang hukum adat
desa tidak mengambil keputusan mengenai suatu perkara yang rumit, maka perkara
tersebut diajukan kepada demang, kepala adat tingkat kecamatan. Keputusan
sidang hukum adat harus ditaati, jika tidak maka terdakwa akan diisolasikan
dari masyarakat desanya secara fisik dan rohaniah. Nasib orang yang sedemikian
itu buruk sekali, karena sejak itu ia tidak lagi berada dalam perlindungan
adat. Ia akan dijauhi dan diboikot oleh tetangga-tetangganya. Seorang dari desa
Siong di daerah Ma’anyan misalnya, telah diadili karena memperkosa isteri orang
lain, tetapi ia tidak mau menerima keputusan sidang hukum adat. Ia
diisolasikan, maka pada waktu anaknya meninggal dunia, tidak ada orang desa
yang mau membantu mangurus jenazahnya, bahkan mereka melarangnya memakamkan
jenzanh itu di tempat pemakaman umum. Perlakuan ini akhirnya memaksa ia untuk
tunduk.
Pada
dewasa ini di Kalimantan Tengah selain berlaku hukum adat, berlaku juga hukum
pidana R.I. walaupun di antara kedua hukum tersebut sering terjadi
pertentangan, tetapi kebanyakan adalah saling mengisi. Umpamanya di salah satu
desa di Paju Sepuluh (daerah Ma’anyan), telah ada kejadian bahwa sebuah
perangkap untuk rusa di hutan menyebabkan kecelakaan dan membunuh seorang
laki-laki yang merupakan anak tunggal dari suami isteri yang sudah lanjut
umurnya. Karena kejadian itu menurut hukum pidana tidak disebabkan oleh
kejahatan, maka pemiliki perangkap tadi diserahkan kepada kebijaksanaan sidang
hukum adat. Sidang hukum adat kemudian telah men-danda-nya dan mengatur agar ia
dapat di adopsi oleh orang tua si korban, sehingga dengan demikian ia dapat
memberi nafkah kepada orang tua tadi itu.
Sampai
pada tahun 1968 di Kalimantan Tengah sudah terbentuk tiga tempat peradilan
Agama/Masyarakat, yaitu:
Peradilan
Agama/Masyarakat Sampit, yang mewilayahi: daerah kabupaten
Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kotawaringin Barat. Pusatnya adalah di
Pangkalan Bun.
Peradilan
Agama/Masyarakat Kapuas, yang mewilayahi: daerah Kabupaten
Kapuas dan Kotapraja Palangka Raya, Pusatnya adalah di Kuala Kapuas.
Peradilan
Agama/Masyarakat Muara Teweh, yang mewilayahi:
daerah Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan. Pusatnya adalah
Muara Teweh.
SISTEM RELIGI MASYARAKAT SUKU DAYAK
Berdasarkan
religinya, penduduk propinsi Kalimantan Tengah (suku dayak) dapat dibagi
menjadi empat golongan, yaitu Islam, agama pribumi, Kristen, dan Katolik.
Menurut laporan Perwakilan Departemen Agama Propinsi Klimabtan Tengah, maka
orang islam merupakan golongan terbesar. Jumlah besar dari orang islam itu
sudah tentu disebabkan karena di Propinsi Kalimantan Tengah sekarang ini ada
banyak orang pendatang. Di daerah hilir sungai-sungai besar banyak orang
pribumi atau orang dayak yang juga telah menjadi orang Islam sejak lebih dari
satu abad lamanya, tetapi sebelum zaman perang dunia ke II, mereka biasanya
tidak mau dianggap orang dayak lagi karena sebutan itu berarti orang udik, dan
di dalam zaman itu dianggap merendahkan.
Agama
asli penduduk pribumi adalah agama Kaharingan. Sebutan itu dipergunakan sesudah
perang dunia ke II, waktu diantara penduduk pribumi Kalimantan timbul suatu
kesadaran akan kepribadian budaya mereka sendiri dan suatu keinginan kuat untuk
menghidupkan kembali kebudayaan Dayak yang asli. Agama kristen mulai masuk
mulai pertengahan abad yang lalu, dan aliran agama kristen yang pada masa
sekarang ini paling besar jumlah penganutnya adalah aliran Gereja Kalimantan
Evangelis. Agama katolik baru disebarkan di kalangan orang Dayak mulai pada
zaman kemerdekaan.
Umat
Kaharingan percaya bahwa alam sekitar hidupnya itu penuh dengan makhluk-makhluk
halus dan ruh-ruh yang menempati tiang rumah, batu-batu besar, pohon-pohon
besar, hutan belukar, dan air, pokoknya alam sekeliling tempat tinggal manusia.
Ada dua golongan ruh-ruh, ada golongan ruh-ruh yang baik dan golongan ruh
jahat. Disamping itu ada pula makhluk halus yang mempunyai peranan yang sangat
penting dalam kehidupan orang Dayak, ialah ruh nenek moyang. Menurut
kepercayaan suku Dayak, jiwa yang mati itu meninggalkan tubuh dan menempati
alam sekeliling tempat tinggal manusia sebagai ruh nenek moyang. Lama kelamaan
ruh nenek moyang itu akan kembali kepada dewa tertinggi yang disebut “Ranying”,
tetapi proses itu akan memakan waktu yang lama dan melalui berbagai macam
rintangan dan ujian hingga akhirnya masuk ke dunia ruh yang bernama “Lewu
Liau”dan menghadap Ranying.
Terwujudnya
kepercayaan terhadap arwah nenek moyang dan makhluk halus lainnya terwujud
dalam upacara keagamaan. Ada suatu rangkaian upacara yang dilakukan prang pada
peristiwa-peristiwa penting selama hidupnya, seperti upacara menyambut
kelahiran anak, upacara memandikan bayi untuk pertamakalinya, upacara memotong
rambut bayi, dan juga upacara mengubur dan pembakaran mayat. Jika orang Dayak
mati, mayatnya akan di letakkan di sebuah peti kayu berbentuk perahu lesung dan
kemudian di bakar secara besar-besaran yang disebut “Tiwah”. Dan setelah proses
pembakaran itu selesai, tulang belulang terutama tengkoraknya digali lagi dan
kemudian pihak keluarga memindahkannya ke pemakaman yang tetap, sebuah bangunan
yang berukiran indah, yang disebut “Sandung”. Karena acara pemakaman itu
dilakukan secara besar-besaran oleh sejumlah keluarga, maka acara itu dapat
berlangsung seminggu sampai tiga minggu berturut-turut. Karena banyaknya
pengunjung yang ingin menyaksikan upacara itu, maka dibutuhkan biaya yang
sangat besar oleh karena itu terpaksa upacara itu hanya bisa dilakukan sekali
dalam tujuh atau delapan tahun sekali. Upacara itu juga diisi dengan
nyanyian-nyanyian yang amat panjang tanpa menggunakan teks dan juga menampilkan
tarian suci yang menarik.
Orang
dayak juga mengenal upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh beberapa
keluarga, yaitu upacara yang bersangkutan dengan pertanian di ladang, dengan
maksud untuk menambah kesuburan tanah, menolak hama, dan hasil bumi yang
berlimpah. Dalam upacara tersebut, yang dipimpin oleh seorang yang bernama
“Balian”, sering tampak berbagai unsur ilmu gaib.
0 komentar:
Posting Komentar