Kamis, 25 Februari 2016

SUKU DAYAK

ASAL USUL DAN SEJARAH SUKU BANGSA DAYAK
Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.
Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.
Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.
Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.
Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu.
Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.
Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.
Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.
Adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.
Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.
Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani.
Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 4 kelompok besar, 1 kelompok kecil yakni:
KENDAYAN / KANAYATN GROP
Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.mempunyai gerak tari, enerjik, stakato, keras.
RIBUNIC / JANGKANG GROP/ BIDOIH / BIDAYUH
Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan membuka, tidak kasar dan halus.
IBAN / IBANIC
Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.
BANUAKA" GROP
Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirip kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih halus.
KAYAANIK, PUNAN, BUKAT DLL.
Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali / ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah kab. ketapang. kemudian Dayak Kabupaten Ketapang,Daerah simpakng seperti Dayak Samanakng dan Dayak Kualan, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dsb.
Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: dayak Keninjal(mayoritas tanah pinoh;antara lain desa ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll)dayak Kebahan (antara lain desa:poring,nusa kenyikap, Kayu Bunga, dll yang memiliki tari alu dan tari belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai mangat,nyanggai,nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa tanjung beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh (antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak sebruang (antara lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk kelompok kal-teng), Leboyan.
BAHASA YANG DI GUNAKAN OLEH SUKU DAYAK
Bahasa yang digunakan termasuk kelompok Ibanic group seperti halnya kelompok Ibanic Lainnya:Kantuk, bugao, desa, seberuang,Ketungau, sebaruk dan kelompok Ibanic  lainnya. Perbedaannya adalah pengucapan / logat dalam kalimat dengan suku serumpun yakni pengucapan kalimat yang menggunakan akhiran kata i dan e, i dan y, misalnya: Kediri” dan Kedire”, rari dan rare, kemudian inai dan inay, pulai dan pulay dan penyebutan kalimat yang menggunakan huruf r ( R berkarat ), serta logat pengucapannya, walauun mengandung arti yang sama.
ORGANISASI SOSIAL PADA SUKU DAYAK
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Dayak Kalimantan Tengah, baik Ngaju, Ot-Danum maupun Ma’anyan, berdasarkan prinsip keturunan ambilineal, yang menghitungkan hubungan kekerabatan untuk sebagian orang dalam masyarakat melalui orang laki-laki dan untu sebagian orang yang lain dalam masyarakat itu juga, melalui orang-orang wanita.
Pada masa dahulu, pada waktu di daerah Kalimantan Tengah masih ada rumah-rumah panjang, maka kelompok kekerabatan yang terpenting dalam masyarakat mereka adalah keluarga-ambilineal kecil. Bentuk keluarga ini timbul kalau ada keluarga-luas yang utrolokal. Untuk memperkuat rasa identitet itu, maka dikembangkan orientasi terhadap nenek moyang yang hidup dua sampai tiga angkatan yang lampau.
Pada masa sekarang, kelompok kekerabatan yang terpenting adalah keluarga-luas utrolokal yang di Kalimantan Tengah biasanya menjadi isi dari suatu rumah tangga. Rumah tangga ini juga berlaku sebagai kesatuan fisik misalnya dalam sistem gotong royong, dan sebagai kesatuan rohaniah dalam upacara-upacara agama Kaharingan. Setiap keluarga-luas mempunyai ruh pelindung sendiri, dan beberapa di antaranya memuja ruh-ruh nenek moyangnya sendiri. Kecuali itu, setiap rumah tangga Kaharingan mempunyai pantangan terhadap makanan khusus yang harus ditaati oleh warga-warganya. Kewargaan dari suatu rumah tangga tidak statis, karena kewargaan anggota-anggotanya semata-mata tergantung dari tempat tinggal yang ditentukan pada waktu ia mau menikah, padahl ketentuan itu dapat diubah menurut keadaan setelah menikah. Jika seorang bersama keluarganya kemudian pindaj keluar dari rumah itu, pertalian fisik dan rohani dengan rumah-tangga semula pun turut berubah.
Seperti halnya dengan suku-suku bangsa lain di dunia, saat peralihan yang penting dalam lingkaran hidup orang Dayak Kalimantan Tengah adalah perkawinan. Pada orang Dayak ada perkawinan yang dianggap ideal dan amat diingini oleh umum, yaitu perkawinan yang antara dua orang bersaudara sepupu yang kakek-kakeknya adalah saudara sekandung, yaitu apa yang disebut hajenan dalam bahasa Ngaju (saudara sepupu derajat kedua). Selain itu juga dianggap baik perkawinan di antara dua orang saudara sepupu yang ibu-ibunya bersaudara sekandung, dan di antara cross-cousin. Perkawinan yang dianggap sumbang (sala horoi dalam bahasa Ngaju), adalah perkawinan di antara saudara sepupu yang ayah-ayahnya adalah bersaudara sekandung (patri-parallel cousin), dan terutama sekali perkawinan di antara orang-orang dari generasi yang berbeda, misalnya antara seorang anak dengan orang tuanya, atau antara seorang gadis dengan mamaknya. Persetubuhan di antara seorang mamak dengan kemenakannya dianggap sedemikian buruknya, sehingga untuk itu perlu diadakan upacara sebagai penghapus dosa. Dalam hal ini kedua orang yang bersalah tadi diharuskan makan dari dulang tempat makan babi sambil merangkak di hadapan warga desa yang sengaja diundang untuk menyaksikan upacara tersebut. Pantang-pantang kawin tersebut, jika dilanggar berarti tulah besar yang menurut kepercayaan orang Ngaju dan Ot-Danum dapat mendatangkan bencana bukan saja pada orang-orang yang bersangkutan, tetapi juga pada seluruh warga desa, sehingga perlu dinetralisasi dengan upacara penawar seperti yang diceritarakan di atas. Orang-orang Dayak Kalimantan Tengah tidak melarang gadis-gadis mereka menikah dengan orang-orang dari suku bangsa lain, asalkan saja laki-laki “asing” tersebut bersedia untuk tunduk kepada adat mereka, dan bersedia terus berdiam di desa mereka.
Pada suku-suku bangsa Ngaju dan Ot-Danum, seorang anak yang telah mencapai umur 20 tahun bagi seorang laki-laki dan 18 bagi seorang wanita, biasanya dicarikan jodoh oleh orang tuanya. Pada zaman dahulu, orang Dayak berkuasa penuh atas pemilihan jodoh anak-anak mereka, tetapi kini keadaan sudah berubah, dan para pemuda-pemudi yang sudah bersekolah boleh bebas mencari teman hidupnya masing-masing, asalkan calon mereka mendapat persetujuan dari orang tua mereka. Maka biasanya orang tua si pemuda adalah pihak pelamar, dan untuk hal itu mereka akan pergi ke rumah orang tua si gadis untuk menyerahkan hakumbang auch(bahasa Ngaju), yaitu semacam uang lamaran sebesar Rp 10-Rp 500 (pada tahun 1960), sambil menerangkan maksud kedatangannya. Sesudah itu orang tua si gadis akan mengumpulkan semua kaum kerabat mereka yang dekat, dan membicarakan masalahnya dengan mereka. Selama beberapa hari sebelum keputusan dapat diambil, para kerabat dekat tersebut dengan saksama akan melakukan penyelidikan tentang tingkah laku si calon menantu untuk mengetahui: apakah ia seorang yang berwatak baik, apakah ia bukan keturunan budak, dan apakah ia bukan keturunan hantuen. Hakumbang auchsegera dikembalikan jika ternyata bahwa si pemuda tidak memenuhi syarat, dan itu berati bahwa pinangan ditolak.
Kalau lamaran diterima, maka diadakan upacara peresmian pertunangan dan perundingan mengenai langkah-langkah selanjutnya. Biaya pesta ini seluruhnya ditanggung oleh pihak keluarga si gadis, dan binatang yang khusus disembelih pada kesempatan ini adalah babi. Menyembelih ayam untuk pesta ini dianggap hina. Sebelum dimulai dengan perundingan yang dilakukan pada tengah hari, pihak laki-laki menyerahkan hadiah-hadiah yang berupa sehelai bahalai (sarung panjang untuk wanita), bahan kain untuk kebaya, minyak wangi, cincin emas dan sebagainya, tergantung dari kemampuan yang memberi. Setelah ini, segera dimulailah perundingan antara kedua belah pihak untuk menentukan antara lain hari pernikahan, besarnya biaya yang harus disumbangkan oleh pihak laki-laki untuk membiayai pesta perkawinan, besarnya emas kawin (Ngaju palaku), dan sebagainya.
Jangka waktu di antara pesta pertunangan dengan pesta perkawinan adalah di antara satu bulan sampai tiga tahun, tergantung dari hasil keputusan perundingan. Sebelum melakukan upacara perkawinan, seorang gadis jika kebetulan masih mempunyai kakak perempuan yang sehingga waktu itu belum juga kawin, harus juga menghadiahkan kakaknya tersebut sebuah gong atau keramik Cina, untuk menolak bencana yang akan terjadi di dalam perkawinannya, karena sudah berani melangkahi hak-hak kakaknya. Hadiah ini oleh orang Ngaju disebut panangkalau. Adat pelamaran yang diuraikan di atas berlaku pada masyarakat Ngaju, tetapi dengan beberapa perbedaan kecil juga pada orang Ot-Danum.
Adat melamar terurai di atas juga terdapat pada suku bangsa Dayak Ma’anyan yang menurut Hudson disebut pipakatan yaitu perkawinan yang diurus oleh orang tua, karena di-mapakat-i, (dimufakati) oleh orang tuanya, tetapi selain bentuk perkawinan tersebut di atas, pada orang Ma’anyan ada satu bentuk perkawinan lagi yang pada dewasa ini sudah mulai umum, yaitu ijari(berasal dari kata jadi atau lari), atau kawin lari. Walaupun namanya “kawin lari” tetapi bukan berarti bahwa dengan larinya sepasang merpati itu, perkawinan sudah dapat terjadi. Larinya itu hanya baru merupakan tindakan pertama menuju ke upacara perkawinan adat. Demikianlah jika ada dua orang yang sepakat untuk hidup bersama, maka mereka lari menuju ke rumah kepada adat yang disebut panghulu, atau ke rumah seorang kawan baik yang mempunyai kedudukan baik di dalam masyarakat. Kepada tokoh-tokoh itu mereka sampaikan keputusan hati mereka, dan tokoh itulah yang kemudian menghubungi orang-orang tua kedua belah pihak tersebut. Jika orang tua tidak keberatan, maka kontrak perkawinan segara dibuat, dan upacara perkawinan darurat daoat dilangsungkan dengan cepat.
Pesta perkawinan yang dilangsungkan ini disebut kawin setengah. Setelah selesai berlangsungnya pesta perkawinan ini, dua sejoli tersebut sudah boleh hidup bersama sebagai suami isteri untuk waktu tiga bulan. Dalam waktu itu mereka diwajibkan untuk berusaha mengumpulkan biaya guna membeayai pesta perkawinan menurut adat. Dalam usahanya ini mereka seringkali mendapat bantuan dari kerabatnya yang mampu, umpamanya mereka diperbolehkan untuk menyadap karet diladang karetnya. Perkawinan semacam ini tidak selalu dapat berlangsung dengan lancar, karena perundingan gagal bukan saja karena soal besarnya mas kawin, tetapi juga persoalan tempat kediaman setelah nikah dari keduanya itu. Ijari juga dijalankan oleh orang-orang yang perjodohannya tidak disetujui oleh orang-orang tuanya.
Perkawinan orang Dayak Kalimantan Tengah pada umunya adalah monogami, hal ini bukan saja berlaku pada mereka yang beragama Nasrani, tetapi juga pada mereka yang beragama Kaharingan. Adat kaharingan sebenarnya tidak melarang seorang laki-laki mengambil lebih dari seorang isteri, tetapi dalam prakteknya hal itu jarang sekali dapat dilakukan, karena adat wajib membayar palakulagi yang bukan sedikit jumlanya itu.
Di Kalimantan Tengah angka perceraian adalah cukup tinggi. Menurut Hudson, ditiga desa di daerah orang Ma’anyan, 25% dari perkawinan-perkawinan diakhiri dengan perceraian. Perceraian pada orang Ngaju, Ot-Danum, maupun Ma’anyan biasanya terjadi karena tidak setianya salah satu pihak. Perceraian sebagai akibat seorang isteri mandul tak pernah terjadi, karena ada adat mengadopsi anak yang dilakukan secara luas. Pada perceraian, anak-anak yang masih kecil biasanya ikut dengan ibunya, sedangkan anak-anak yang sudah agak besar menjadi tanggungan kaum kerabat dari kedua belah pihak menurut keadaan.
SISTEM KEMASYARAKATAN
Seperti telah dikatakan di atas, Propinsi Kalimantan Tengah terdiri dari satu kotamadya dan lima kabupaten. Kotamadya tersebut adalah Palangka Raya yang didirikan di atas wilayah desa Pahandut di Kabupaten Kapuas. Palangka Raya adalah ibu kota Propinsi Kalimantan Tengah. Adapun kelima kabupaten Kalimantan tersebut adalah:
Kotawaringin Barat (ibukota: Pangkalan Bun) merupakan daerah aliran sungai-sungai Kotawaringin, Lamandau, an Arut.
Kotawaringin Timur (Ibukota: Sampit) merupakan daerah aliran Sungai-sungai Pembuan (Seruyan), dan Sampit (Mentaya).
Kapuas (Ibukota: Kuala Kapuas) merupakan daerah aliran Sungai-sungai Katingan (Mendawai), Kahayan dan Kapuas.
Barito Selatan (Ibukota: Muntok) merupakan daerah aliran Sungai-sungai Patai, Telang, Dayu, Paku karau, dan Ayuh.
Barito Utara (Ibukota: Muara Teweh) merupakan daerah aliran Sungai-sungai Montalat, Teweh, Lahai, Busang, dan Murung.
Propinsi Kalimantan Tengah dikepalai oleh seorang Gubernur dan Kebupaten dikepalai oleh seorang Bupati yang diangkat oleh Gubernur. Berhubung kesukaran komunikasi di Kalimantan Tengah, maka pengaruh seorang Bupati menjadi besar sekali. Dulu Kabupaten dibagi menjadi beberapa kewedanaan, dan masing-masing kewedanaan dibagi lagi menjadi kecamatan-kecamatan, tetapi sejak tahun 1964 kawedanaan dihapuskan. Kecamatan selanjutnya dibagi lagi ke dalam desa-desa yang dikepalai oleh seorang pembekal. Di dalam satu desa di samping ada seorang pembekal yang merupakan kepala desa urusan adiministratif pemerintahan desa, ada seorang kepala lagi yang khusus mengurus adat setempat yang disebut panghulu. Para panghulu tersebut berada di bawah seorang kepala adat di tingkat kecamatan yang disebut demang. Panghulu dari suatu desa dalam hal mengurus adat desanya didampingi oleh satu dewan orang-orang tua yang di daerah Ma’anyan disebut mantir.
Seperti telah diterangkan di muka penduduk Kalimantan Tengah, selain mempunyai desa-desa induk, juga mempunyai desa-desa ladang semi-permanen. Jika mengingat mata pencaharian hidup orang Dayak Kalimantan Tengah adalah berdasarkan perladangan yang harus berpindah-pindah, maka rupa-rupanya desa asli dari mereka adalah justru desa ladang yang semi-permanen dan bukan desa induk yang permanen. Menurut Hudson, desa-desa induk adalah rupa-rupanya bentuk kesatuan setempat dibentuk oleh Pemerintah Kolonial sejak kira-kira tahun 1856. Pada dewasa ini, walaupun sudah ada desa-desa induk yang permanen, tetapi karena mata pencaharian hidup orang Dayak Kalimantan Tengah masih tetap berladang, maka sebagian besar dari orang desa, terutama yang masih kuat bekerja, hidup di desa-desa ladang mereka untuk lebih dari enam bulan tiap-tiap tahun.
Pemerintahan desa. Pemerintahan desa secara formil berada di tangan pembekal dan penghulu. Pembekal bertindak sebagai pemimpin administratif, dan penghulu sebagai kepala adat dalam desa. Syarat untuk menjadi pembekaladalah kemampuan menulis dan membaca huruf latin, mempunyai rumah dan mempunyai pengaruh di desanya. Adapun syarat bagi seorang panghulu adalah keahlian dalam soal-sola adat. Demikian seorang ahli adat, panghulu harus bertindak dalam hal memutuskan perkara-perkara hukum adat dan menjadi wakil desanya pada upacara-upacara adat yang diadakan di desa tetangga. Kedudukan pembekal dan panghulu sangat terpandang di desa. Mereka memperoleh jabatan mereka melalui pemilihan oleh warga desa. Dahulu kedua jabatan dirangkap oleh seorang kepala desa yang disebut patih, tetapi kemudian karena pekerjaan administratif makin bertambah dengan kemajuannya zaman, maka terjadi pemisahan tersebut.
Hukum Adat. Hukum adat orang-orang Dayak di seluruh Kalimantan, termasuk juga dari Kalimantan yang kini menjadi wilayah Malaysia dan Brunai, telah pernah diseragamkan dalam suatu musyawarah besar yang diadakan di desa Huron Anoi (Tumbang Anoi) Kahayan Hulu, Kalimantan Tengah. Musyawarah ini berlangsung di antara 22 Mei sampai dengan 24 Juli 1894. Musyawarah ini yang oleh orang Dayak Kalimantan Tengah dikenal sebagai Perdamaian Tumbang Anoi, dihadiri oleh kepala-kepala adat dan demang-demang dri antara lain Kalimantan Selatan, Barat, Timur, dan juga dari Utara. Di dalam musyawarah tersebut telah diseragamkan garis-garis besar hukum adat, agar dapat dijadikan pedoman bagi seluruh orang Dayak seluruh Kalimantan, agar tidak terjadi lagi kesimpang-siuran yang dapat menimbulkan pertentangan di antara sesama orang Dayak. Sejak itu hukum adat yang berlaku diseluruh Kalimantan adalah berdasarkan keputusan musyawarah tersebut.
Hukum adat Kalimantan menurut Hadson adalah hukum setempat yang tidak tertulis. Sanksi dari hukum adat kebanyakan berupa pemberian ganti kerugian (Ma’anyan danda). Maksud pembayaran ganti kerugian adalah mengembalikan keseimbangan ketenangan masyarakat yang dikacaukan oleh kejahatan seperti misalnya pembunuhan., melarikan isteri orang, dan sebagainya. Hukum adat selain menentukan hukuman terhadap pelanggaran adat yang berupa denda secara materiel, juga mengharuskn si pelanggar membayar denda secar upacara, yaitu dengan maksud memulihkan keseimbangan alam dengan jalan mengambil hati para dewa agar tidak marah lagi. Demikian maka setiap dandadapat terdiri dari dua bagian, yaitu pembayaran berbentu benda-benda materiel (uang, benda-benda antik) dan berbentuk sajian binatang kepada para dewa. Suatu upacara yang penting dalam rangka ini adalah upacara memercikkan darah binatang sajian ke sekililing desa, dengan maksud sebagai penawar. Upacara ini pada orang Ma’anyan disebut pilah. Upacara pilah dilakukan misalnya jika di desa telah terjadi pelanggaran pantangan kawin, sumbang, zina. Untuk penawarnya harus dikurbankan seekor babi dan darahnya dipercik-percikkan pada pohon-pohon buah-buahan yang tumbuh di sekeliling desa dengan secabang daun-daunan, dengan maksud agar pohon-pohon tersebut dapat berubah lagi dengan baik. Upacara tersebut juga terdapat di antara orang Ngaju dan Ot-Danum, yaitu terutama jika terjadi persetubuhan di antara seorang mamak dengan kemenakannya.
Keputusan hukum adat tidak pernah dijatukan oleh seorang, melainkan oleh suatu sidang yang terdiri dari dewan orang tua di bawah penghulu sebagai ketua. Dalam mengambil keputusan, sidang hukum adat ini harus selalu memperhatikan dua dasar jiwa hukum adat, yaitu menanyakan apakah perkara yang sama ini pernah terjadi sebelumnya, dan kedua, berusaha agar hukuman yang akan dijatuhkan itu berdasarkan keadilan. Karena berpedoman kepada dua prinsip dasar tersebut, maka hukum adat orang Dayak adalah luwes dan mudah berubah. Jika sidang hukum adat desa tidak mengambil keputusan mengenai suatu perkara yang rumit, maka perkara tersebut diajukan kepada demang, kepala adat tingkat kecamatan. Keputusan sidang hukum adat harus ditaati, jika tidak maka terdakwa akan diisolasikan dari masyarakat desanya secara fisik dan rohaniah. Nasib orang yang sedemikian itu buruk sekali, karena sejak itu ia tidak lagi berada dalam perlindungan adat. Ia akan dijauhi dan diboikot oleh tetangga-tetangganya. Seorang dari desa Siong di daerah Ma’anyan misalnya, telah diadili karena memperkosa isteri orang lain, tetapi ia tidak mau menerima keputusan sidang hukum adat. Ia diisolasikan, maka pada waktu anaknya meninggal dunia, tidak ada orang desa yang mau membantu mangurus jenazahnya, bahkan mereka melarangnya memakamkan jenzanh itu di tempat pemakaman umum. Perlakuan ini akhirnya memaksa ia untuk tunduk.
Pada dewasa ini di Kalimantan Tengah selain berlaku hukum adat, berlaku juga hukum pidana R.I. walaupun di antara kedua hukum tersebut sering terjadi pertentangan, tetapi kebanyakan adalah saling mengisi. Umpamanya di salah satu desa di Paju Sepuluh (daerah Ma’anyan), telah ada kejadian bahwa sebuah perangkap untuk rusa di hutan menyebabkan kecelakaan dan membunuh seorang laki-laki yang merupakan anak tunggal dari suami isteri yang sudah lanjut umurnya. Karena kejadian itu menurut hukum pidana tidak disebabkan oleh kejahatan, maka pemiliki perangkap tadi diserahkan kepada kebijaksanaan sidang hukum adat. Sidang hukum adat kemudian telah men-danda-nya dan mengatur agar ia dapat di adopsi oleh orang tua si korban, sehingga dengan demikian ia dapat memberi nafkah kepada orang tua tadi itu.
Sampai pada tahun 1968 di Kalimantan Tengah sudah terbentuk tiga tempat peradilan Agama/Masyarakat, yaitu:
Peradilan Agama/Masyarakat Sampit, yang mewilayahi: daerah kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kotawaringin Barat. Pusatnya adalah di Pangkalan Bun.
Peradilan Agama/Masyarakat Kapuas, yang mewilayahi: daerah Kabupaten Kapuas dan Kotapraja Palangka Raya, Pusatnya adalah di Kuala Kapuas.
Peradilan Agama/Masyarakat Muara Teweh, yang mewilayahi: daerah Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan. Pusatnya adalah Muara Teweh.
SISTEM RELIGI MASYARAKAT SUKU DAYAK
Berdasarkan religinya, penduduk propinsi Kalimantan Tengah (suku dayak) dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu Islam, agama pribumi, Kristen, dan Katolik. Menurut laporan Perwakilan Departemen Agama Propinsi Klimabtan Tengah, maka orang islam merupakan golongan terbesar. Jumlah besar dari orang islam itu sudah tentu disebabkan karena di Propinsi Kalimantan Tengah sekarang ini ada banyak orang pendatang. Di daerah hilir sungai-sungai besar banyak orang pribumi atau orang dayak yang juga telah menjadi orang Islam sejak lebih dari satu abad lamanya, tetapi sebelum zaman perang dunia ke II, mereka biasanya tidak mau dianggap orang dayak lagi karena sebutan itu berarti orang udik, dan di dalam zaman itu dianggap merendahkan.
Agama asli penduduk pribumi adalah agama Kaharingan. Sebutan itu dipergunakan sesudah perang dunia ke II, waktu diantara penduduk pribumi Kalimantan timbul suatu kesadaran akan kepribadian budaya mereka sendiri dan suatu keinginan kuat untuk menghidupkan kembali kebudayaan Dayak yang asli. Agama kristen mulai masuk mulai pertengahan abad yang lalu, dan aliran agama kristen yang pada masa sekarang ini paling besar jumlah penganutnya adalah aliran Gereja Kalimantan Evangelis. Agama katolik baru disebarkan di kalangan orang Dayak mulai pada zaman kemerdekaan.
Umat Kaharingan percaya bahwa alam sekitar hidupnya itu penuh dengan makhluk-makhluk halus dan ruh-ruh yang menempati tiang rumah, batu-batu besar, pohon-pohon besar, hutan belukar, dan air, pokoknya alam sekeliling tempat tinggal manusia. Ada dua golongan ruh-ruh, ada golongan ruh-ruh yang baik dan golongan ruh jahat. Disamping itu ada pula makhluk halus yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Dayak, ialah ruh nenek moyang. Menurut kepercayaan suku Dayak, jiwa yang mati itu meninggalkan tubuh dan menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia sebagai ruh nenek moyang. Lama kelamaan ruh nenek moyang itu akan kembali kepada dewa tertinggi yang disebut “Ranying”, tetapi proses itu akan memakan waktu yang lama dan melalui berbagai macam rintangan dan ujian hingga akhirnya masuk ke dunia ruh yang bernama “Lewu Liau”dan menghadap Ranying.
Terwujudnya kepercayaan terhadap arwah nenek moyang dan makhluk halus lainnya terwujud dalam upacara keagamaan. Ada suatu rangkaian upacara yang dilakukan prang pada peristiwa-peristiwa penting selama hidupnya, seperti upacara menyambut kelahiran anak, upacara memandikan bayi untuk pertamakalinya, upacara memotong rambut bayi, dan juga upacara mengubur dan pembakaran mayat. Jika orang Dayak mati, mayatnya akan di letakkan di sebuah peti kayu berbentuk perahu lesung dan kemudian di bakar secara besar-besaran yang disebut “Tiwah”. Dan setelah proses pembakaran itu selesai, tulang belulang terutama tengkoraknya digali lagi dan kemudian pihak keluarga memindahkannya ke pemakaman yang tetap, sebuah bangunan yang berukiran indah, yang disebut “Sandung”. Karena acara pemakaman itu dilakukan secara besar-besaran oleh sejumlah keluarga, maka acara itu dapat berlangsung seminggu sampai tiga minggu berturut-turut. Karena banyaknya pengunjung yang ingin menyaksikan upacara itu, maka dibutuhkan biaya yang sangat besar oleh karena itu terpaksa upacara itu hanya bisa dilakukan sekali dalam tujuh atau delapan tahun sekali. Upacara itu juga diisi dengan nyanyian-nyanyian yang amat panjang tanpa menggunakan teks dan juga menampilkan tarian suci yang menarik.
Orang dayak juga mengenal upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh beberapa keluarga, yaitu upacara yang bersangkutan dengan pertanian di ladang, dengan maksud untuk menambah kesuburan tanah, menolak hama, dan hasil bumi yang berlimpah. Dalam upacara tersebut, yang dipimpin oleh seorang yang bernama “Balian”, sering tampak berbagai unsur ilmu gaib.

0 komentar:

Posting Komentar