Kamis, 25 Februari 2016

ETNIS BATAK


ETNIS BATAK
Etnik Batak merupakan salah satu etnik bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa etnik bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Populasi etnik Batak di Indonesia merupakan sub populasi terbanyak ketiga setelah etnik Jawa dan etnik Sunda. Jumlah etnik Batak di Indonesia hasil Sensus Penduduk 2010 adalah sebanyak  8,432,328 jiwa. Berdasarkan kode etnik BPS, etnik Batak terdiri dari tujuh sub etnik. Populsi masing-masing sub etnik adalah sebagai berikut:  Batak Angkola (623,214 jiwa), Batak Karo (1,232,655 jiwa), Batak Mandailing (1,742,673 jiwa), Batak Pakpak Dairi (180,393 jiwa), Batak Simalungun (441,382 jiwa), Batak Tapanuli/Sibolga (539,567 jiwa) dan Batak Toba (3,672,443 jiwa).
SEJARAH ETNIK BATAK
Batak merupakan satu istilah yang digunakan untuk kumpulan suku yang terdapat di daratan tertinggi di Sumatera Utara, Suku Batak berasal dari keturunan Raja Batak. Suku batak termasuk suku bangsa melayu tua yang berasal dari indocina atau hindia belakang, nenek moyang orang batak berasal dari utara berpindah ke Filipina dan berpindah lagi ke Sulewesi Selatan, berlayar hingga akhirnya menetap di pelabuhan barus, kemudian bergeser ke pedalaman dan menetap dikaki gunung pusuk buhit, di tepi pulau samosir, tempat asal usul peradaban suku batak.
Keturunan suku batak berasal dari hindia muka (india), pindah ke burma, kemudian ke tanah genting Kera di Utara Malaysia. Berlayar sampai ke tanjung balai batubara dan di pangkalan brandan atau kuala simpang di aceh dari sana naik ke pedalaman danau toba  Suku batak termasuk dalam rumpun proto-melayu yang berasal dari Asia selatan yakni dari burmayang berlayar sampai malaysia, menyeberang dan menghuni daerah sekitar danau toba
IDENTITAS SUKU BUDAYA BATAK
SUKU BATAK TOBA
Wilayah-wilayah Suku Batak Toba meliputi balige porsea, parsoburan, laguboti, ajibata, ulunan, borbor, lumban, julu, dan sekitar. Sitorus, sirait, butar-butar manurung merupakan beberapa marga dari Suku Batak toba. Suku Batak Toba ialah marga-marga pada Suku Bangsa Batak yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba. Sonak Malela yang mempunyai 3 (tiga) orang putera dan menurunkan 4marga, yaitu: Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede, merupakan salah satu cotoh marga pada suku bangsa Batak Toba
KEBUDAYAAN
Batak Toba dengan Tarian Tortor, Wisata danau toba, wisata megalitik (kubur batu), legenda (cerita rakyat), adat budaya yang bernilai tinggi dan kuliner.Batak Karo yang terkenal dengan daerah Berastagi dengan alam yang sejuk dan indah, penghasil buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah menembus pasar global dan juga memiliki adat budaya yang masih tradisional.Etnis Melayu yang terkenal dengan berbagai peninggalan sejarah seperti Istana Maimoon, tari derah dan peninggalan rumah melayu juga masjid yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Batak Angkola yang terkenal dengan kultur budaya yang beragam, mulai dari tari daerah adat istiadat dan merupakan penghasil salak (salak sidempuan) yang juga sudah dapat menembus pasar global.Batak Pakpak Dairi yang dikenal dengan peninggalan sejarah megalitik berupa mejan dan patung ulubalang dan tentunya juga memiliki adat istiadat dan tari daerah juga alat musik yang khusus.
MUSIK
Musik Batak awalnya diciptakan untuk upacara ritual yang dipimpin pada Datu (dukun) pada masa itu untuk penghormatan leluhur, minta panen yang sukses kepada Mula Jadi Nabolon. Batak untuk ritual ini adalah yang disebut Gondang Sabangunan yang terdiri dari 5 Ogung, 5 Gondang, Sarune Bolon lubang 5. Namun para Rakyat juga ingin main musik, maka berkembanglah musik batak ini di kalangan rakyat dengan format Taganing, Garantung, Hasapi, Seruling dan Sarune Etek. Dengan alat-alat musik inilah tercipta banyak sekali lagu rakyat yang bernuansa pentatonis (Do Re Mi Fa Sol, kadang2 ada juga La) dan susunan nada (licks)-nya sangat khas tidak didapati di musik suku lain.
TARIAN
Seni tari tradisional meliputi berbagai jenis.Ada yang bersifat magis, berupa tarian sakral, dan ada yang bersifat hiburan saja yang berupa tari profan.tari adat yang merupakan bagian dari upacara adat, tari sakral biasanya ditarikan oleh dayu-datu.Termasuk jenis tari ini adalah tari guru dan tari tungkat.Datu menarikannya sambil mengayunkan tongkat sakti yang disebut Tunggal Panaluan.
KERAJINAN
Tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari suku Batak. Contoh tenunan ini adalah kain ulos dan kain songket. Ulos merupakan kain adat Batak yang digunakan dalam upacara-upacara perkawinan, kematian, mendirikan rumah, kesenian,dsb. Bahan kain ulos terbuat dari benang kapas atau rami.Warna ulos biasanya adalah hitam, putih, dan merah yang mempunyai makna tertentu. Sedangkan warna lain merupakan lambang dari variasi kehidupan
 HUKUM ADAT TENTANG PERKAWINAN PADA SUKU BATAK
Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak menganut hukum eksogami (perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak: orang tidak mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto), perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam garis lelaki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki.
Ada 2 (dua) ciri utama perkawinan ideal dalam masyarakat Batak-Toba, yakni :
a.     Berdasarkan rongkap ni tondi (jodoh) dari kedua mempelai; dan
b.     Mengandaikan kedua mempelai memiliki rongkap ni gabe (kebahagiaan, kesejahteraan), dan demikian mereka akan dikaruniai banyak anak.
Sementara ketidakrukunan antara suami-isteri terjadi apabila tondimereka tidak bisa lagi hidup rukun (so olo marrongkap tondina) dan itu akan tampak di kemudian hari. Ketidakrukunan ini mungkin akan mengakibatkan terjadinya perceraian. Sebaliknya, sekali mereka sudah melahirkan anak, ikatan antar-pasangan akan semakin kuat dan ikatan cinta semakin kokoh. Hukum eksogami, sebagaimana telah disinggung di atas, bahkan sudah melekat dalam diri setiap orang Batak Toba hingga sekarang. Maka, kiranya tidak mengherankan, apabila masih ada ketakutan untuk melanggarnya. Yang termasuk pelanggaran, antara lain na tarboan-boan rohana (yang dikuasai oleh nafsu-keinginan), yakni orang yang menjalankan sumbang terhadap iboto (saudara perempuan dari anggota marga sendiri). Selain larangan marsumbang, hubungan lain yang tidak diperkenenkan adalahmarpadanpadan (kumpul kebo). Marsumbang baru dibolehkan jika perkawinan yang pernah diadakan di antara kedua kelompok tidak diulangi lagi selama beberapa generasi. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan itu, maka pendapat umum dan alat kekuasaan masyarakat akan diminta turun tangan. Ritusnya adalah sebagai berikut: gondang mangkuling, babiat tumale(gong bertalu-talu, harimau mengaum), artinya, rakyat akan berkumpul untuk menangkap dan menghukum si pelaku. Peribahasa yang digunakan untuk semua tindakan yang melanggar susila adalah: “Manuan bulu di lapang-lapang ni babi; Mamungka na so uhum, mambahen na so jadi." (menanam bambu di tempat babi berlalu, tidak taat hukum dan menjalankan yang tabu), (J.C. Vergouwen, 2004:209).
Perkawinan yang dilakukan atas pelanggaran dinyatakan batal. Lelaki yang berbuat demikian, serta pihak parboru diwajibkan melakukan pertobatan (manopoti/pauli uhum) atau dinyatakan di luar hukum (dipaduru di ruar ni patik), dikucilkan dari kehidupan sosial sebagaimana yang ditentukan oleh adat. Ritusnya adalah sebagai berikut : Pihak-pihak yang melanggar harus mempersembahkan jamuan yang terdiri dari daging dan nasi (manjuhuti mangindahani). Kerbau atau sapi disembelih demi memperbaiki nama para kepala dan ketua yang tercemar karena kejadian itu. Makanan yang dihidangkan sekaligus merupakan pentahiran (panagurasion) terhadap tanah dan penghuninya Berdasarkan pendapat Posposil yang mengatakan bahwa hukum harus memenuhi empat syarat, yakni :
ATTRIBUTE OF AUTHORITY.
Atribut otoritas atau kekuasaan menentukan bahwa aktifitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan melalui suatu mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam masyarakat. Keputusan-keuputusan itu memberi pemecahan terhadap ketagangan social yang disebabkan karena misalnya ada : (i) serangan-serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan terhadap hak orang lain; (iii) serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; (iv) serangan-serangan terhadap keamanan umum.
ATTRIBUTE OF INTENTION OF UNIVERSAL APPLICATION.
Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa dalam masa yang akan dating.
ATTRIBUTE OF OBLIOGATION.
Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban pihak ke satu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua harus dipenuhi oleh pihak kesatu. Didalam hal ini pihak kesatu dan kedua harus terdiri dari individu-individu yang hidup. Kalau keputusan tidak mengandung perumusan dari kewajiban maupun dari hak tadi, maka keputusan tak akan ada akibatnya dan karena itu tidak akan merupakan keputusan hukum; dan kalau pihak itu misalnya nenek moyang yang sudah meninggal, maka keputusan yang menentukan kewajiban pihak ke satu ke pihak kedua itu bukanlah hukum, melainkan suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban keagamaan.
ATTRIBUTE OF SANCTION
Menentukan bahwa keputusan-keputasan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman tubuh dan deprivasi dari milik (yang misalnya amat dipentingkan dalam sistem-sistem hukum bangsa-bangsa Eropa), tetapi juga sanksi rohani seperti misalnya menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa dibenci dan sebagainya maka ritus-ritus yang di lakukan masyarakat Batak Toba  terhadap pelanggaran na tarboan-boan rohana, marsumbang dan marpadanpadan merupakan hukum adat karena dalam pelaksanaanya terdapat keterlibatan pemimpin (authority), berlaku umum (universal), bersifat obligation yang dimana masyarakat berhak untuk menangkap dan menuntut pelaku dan perlaku wajib untuk melakukan pertobatan (manopoti/pauli uhum), serta adanya sanksi berupa manjuhuti mangindahani (Koentjaraningrat, 2008:202).
BENTUK PEMBAGIAN HARTA WARIS DAN SISTEM KEKERABATAN SUKU BATAK
Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah.
Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan adalah anak laki-laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki – laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki – laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebutSiapudan. Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak – anak nya dalam pembagian harta warisan.
Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian warisannya.
Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun – temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan.
Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat – istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua anak laki – laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampung halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya.
Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga (Rudian Siaban, 2013: http://www.rudin76-ban.blogspot.com).
HUKUM ADAT TERHADAP DELIK ADAT (PENCULIKAN) PADA SUKU BATAK
Mengenai hukum pelanggaran digunkan istilah panguhumon ta angka parsala, yang berarti hukum dalam hal mereka yang berbuat salah, pengadilan terhadap mereka serta hukuman yang dijatuhkan. Sala berarti kesalahan, perbuatan tercela, pelanggaran; parsala (orang yang melakukan suatu kesalahan, orang yang melakukan pelanggaran). Istilah  parsala agak luas penerapanya daripada pengaloasi (orang yang menyalahi), karenamangaloasi (menyalahi) yang menyangkut peraturan dan tata tertib yang secara khusus diumumkan sebagai peraturan yang harus dipatuhi, sedangkanparsala dapat juga berarti sesuatu yang tidak boleh dilakukan, dalam arti yang lebih umum (J.C. Vergouwen, 2004:484).
Ada banyak tindakan yang termasuk sebagai pelanggaran dalam masyarakat adat Batak Toba, namun akan dibahas tentang tindakan penculikan bagi masyarakat Batak Toba. Tindakan penculikan bagi masyarakat Batak Toba tidak hanya merugikan pihak terkait (keluarga korban) juga terhadap kepala dan ketentraman serta kedamian di dalam masyarakat. Jika terjadi kasus penculikan, tiba-tiba akan terdengar hentak dan tepuk pada lantai batu seperti yang lazim pada suatu tarian, dan orang pun akan mengalir berduyun-duyun untuk memberi bantuan kepada yang empunya hajat. “Kendang bertalu-talu, harimau mengaum” terdengar pada waktu seluruh wilayah dalam keadaan cemas begitu rupa sehingga semua orang berhimpun untuk memuntahkan perasaan hati. Oleh karena itu, selain pihak yang tersinggung harus menerima pemuasan, kepala juga harus ikut serta ketika hukuman harus dijalani dengan cara menghidangkan nasi dan daging dan ketika denda dan sebagainya harus dibayar
Berdasarkan fakta di atas bisa diketahui bahwa panguhumon ta angka parsala merupakan hukum karena telah memenuhi 4 tanda hukum, yakni :authority, obligation, universal, dan sanction dan memiliki budaya hukum yang bersifat partisipan, (2004:93).

0 komentar:

Posting Komentar