Pengertian Hukum
Di tinjau dari segi
etimologi, hukum berasal dari bahasa arab yang berbentuk mufrad (tunggal). Kata
jamaknya adalah “alkas’nya di ambil alih dalam bahasa indonesia menjadi
“hukum”. Hukum juga dinamakan recht yang berasal dari kata rechtum, di
ambil dari bahasa latin yang berarti pimpinan atau tuntunan atau pemerintahan.
Beberapa pendapat tentang definisi
hukum, di antara lain:
1. Menurut Prof. Dr. P. Borst
Hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat, yang pelaksanaanya dapat dipaksakan dan bertujuan untuk mendapatkan tata atau keadilan.
2. Menurut Prof. Dr. Van Kan
Dalam buku karangannya yang terkenal yait “Inleiding tot de Rechtswetenschap” mendefinisikan hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
3. Menurut Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldoorn
Dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de Studie Van Het Nederlandse recht” memberikan pengertian sebagai berikut “memberikan definisi/batasan hukum, sebenarnya hanya bersifat menyamaratakan saja, dan itupun tergantung siapa yang memberikan”.
Pengertian Kontrol Sosial
Secara umum pengendalian
sosial adalah segenap cara dan proses yang di tempuh kelompok atau orang
masyarakat, sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai denagn harapan
kelompok atau masyarakat.Dalam sistem pemerintahan , pengendalian sosial di
artikan sebagai pengawasan yang di lakukan masyarakat terhadap jalannnya
pemerintahan, khususnya pemerintah beserta aparatnya . pengertian pengendalian
sosial tersebut mencakup segala proses yang di rencanakan atau tidak serta
bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa warga masyarakat mematuhi
kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
Kontrol sosial menurut para pakar :
- Peter I. Berger
adalah
berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggota yang
membangkang.
- Roucek & Warren
adalah
proses yang terencana atau tidak terencan untuk mengajar individu agar dapat
menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan nilai-nilai kelompok tempat mereka
tinggal.
- Soejono Soekanto
adalah suatu proses baik yang
direncanakan atau tidak, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing bahkan
memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang
berlaku.
Jadi, Kontrol sosial dapat disimpulkan sebagai semua cara yang atau sarana yang digunakan untuk mengendalikan tingkah laku warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah yang berlaku.
Jadi, Kontrol sosial dapat disimpulkan sebagai semua cara yang atau sarana yang digunakan untuk mengendalikan tingkah laku warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah yang berlaku.
Hukum Sebagai Sosial Kontrol
Dalam memandang hukum sebagai alat kontrol sosial manusia, maka hukum merupakan salah satu alat
pengendali sosial. Alat lain masih ada sebab masih saja diakui keberadaan
pranata sosial lainnya (misalnya keyakinan, kesusilaan).
Kontrol sosial merupakan aspek normatif kehidupan
sosial. Hal itu bahkan dapat dinyatakan sebagai pemberi defenisi tingkahg laku
yang menyimpang dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti berbagai
larangan, tuntutan, dan pemberian ganti rugi.
Hukum sebagai alat kontrol sosial memberikan arti
bahwa ia merupakan sesuatu yang dapat menetapkan tingkah laku manusia. Tingkah
laku ini dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang menyimpang terhadap aturan
hukum. Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan sangsi atau tindakan terhadap
si pelanggar. Karena itu, hukum pun menetapkan sanksi yang harus diterima oleh
pelakunya. Ini sekaligus berarti bahwa hukum mengarahkan agar masyarakat berbuat
secara benar menurut aturan sehingga ketentraman terwujud.
Pengendalian sosial terjadi apabila
suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok lain, atau apabila kelompok
mengendalikan anggotanya atau kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku
pihak lain. Dengan demikian pengendalian social terjadi dalam tiga taraf yakni:
1. kelompok terhadap kelompok
2. kelompok terhadap anggotanya
3. pribadi terhadap pribadi
Dengan kata lain pengendalian social
terjadi apabila seseorang diajak atau dipaksa untuk bertingkah laku sesuai
dengan keinginan pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya
ataupun tidak. Jika dikatakan pengendalian social itu memiliki unsur pengajakan
atau pemaksaan kehendak kepada pihak lain, maka kesiapan pihak lain itu untuk
menerimanya sudah tentu didasarkan kepada keadaan-keadaan tertentu.
Sanksi hukum terhadap perilaku yang menyimpang,
ternyata terdapat perbedaan di kalangan suatu masyarakat. Tampaknya hal ini
sangat berkait dengan banyak hal, seperti keyakinan agama, aliran falsafat yang
dianut. Dengan kata lain, sangsi ini berkait dengan kontrol sosial. Ahmad Ali
menyebutkan sangsi pezina berbeda bagi masyarakat penganut Islam secara
konsekuen dengan masyarakat Eropa Barat. Orang Islam memberikan sangsi yang
lebih berat, sedangkan orang Eropa Barat memberi sangsi yang ringan saja.
Dengan demikian, di samping bukan satu-satunya alat kontrol sosial, juga hukum
sebagai alat pengendali memainkan peran pasif. Artinya bahwa hukum menyesuaikan
diri dengan kenyataan masyarakat yang dipengaruhi oleh keyakinan dan ajaran
falsafat lain yang diperpeganginya.
Dalam pada itu, disebutkan pula bahwa fungsi hukum ini
lebih diperluas sehingga tidak hanya dalam bentuk paksaan. Fungsi ini dapat
dijalankan oleh dua pihak: 1) pihak penguasa negara. Fungsi ini dijalankan oleh
suatu kekuasaan terpusat yang berwujud kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh the ruling class tertentu. Hukumnya biasanya dalam bentuk hukum tertulis dan
perundang-undangan. 2) masyarakat; fungsi ini dijalankan sendiri oleh
masyarakat dari bawah. Hukumnya biasa berbentuk tidak tertulis atau hukum
kebiasaan.
Fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial dapat berjalan
dengan baik bila terdapat hal-hal yang mendukungnya. Pelaksanaan fungsi ini
sangat berkait dengan materi hukum yang baik dan jelas. Selain itu, pihak
pelaksana sangat menentukan pula. Orang yang akan melaksanakan hukum ini tidak
kalah peranannya. Suatu aturan atau hukum yang sudah memenuhi harapan suatu
masyarakat serta mendapat dukungan, belum tentu dapat berjalan dengan baik bila
tidak didukung oleh aparat pelaksana yang kimit terhadap pelaksanaan hukum. Hal
yang terakhir inilah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Aparat
sepertinya dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur lain yang sepatutnya tidak
menjadi faktor penentu, seperti kekuasaan, materi dan pamrih serta kolusi.
Citra penegak hukum masih rawan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum,
Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Cet I: Jakarta: Chandra Pratama,
1996). Muhammad Abu Zahrah, Ushul ul-Fiqhi (Kairo: Darul Fikriil ‘Arabi,
t.th).
A.
Hukum Sebagai Alat Pengubah Masyarakat
Hukum mungkin dipergunakan sebagai
suatu alat oleh agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau
kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin
satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Suatu perubahan social yang
dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta
pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat
dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social
engineering atau social planning. Hokum mepunyai pengaruh langsung atau
pengaruh yang tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan social.
Misalnya, suatu peraturan yang menentukan system pendidikan tertentu bagi warga
Negara mepunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat penting bagi
terjadinya perubahan-perubahan social.
Di dalam berbagai hal, hukum
mempunyai pengaruh yang langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
artinya adalah bahwa terdapat hubungan yang langsung antara hokum dengan
perubahan-perubahan social. Suatu kaidah hokum yang menetapkan bahwa janda dan
anak-anak tanpa memperhatikan jenisnya dapat menjadi ahliwaris mempunyai
pengaruh langsung terhadapat terjadinya perubahan-perubahan social, sebab
tujuan utamanya adalah untuk mengubah pola-pola perikelakuan dan hubungan-hubungan
antara warga masyarakat.
Pengalaman-pengalaman di
Negara-negara lain dapat membuktikan bahwa hokum, sebagiamana halnya dengan
bidang-bidang kehidupan lainnya dipergunakan sebagai alat untuk mengadakan
perubahan social. Misalnya di Tunisia, maka sejak diperlakukannya Code of
Personal Status pada tahun 1957, seorang wanita yang telah dewasa, mempunyai
kemampuan hokum untuk menikah tanpa harus di dampingi oleh seorang wali.
Kiranya dapat dikatakan bahwa
kaidah-kaidah hokum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan
penting terutama dalam perubahan-perubahan yang dikehendaki atau
perubahan-perubahan yang direncanakan. Dengan perubahan-perubahan yang
dikehendaki dan direncanakan dimaksudkan sebagai suatu perubahan yang
dikehendaki dan direncanakan oleh warga masyarakat yang berperan sebagai
pelopor masyarakat. Dan dalam masyarakat yang sudah kompleks di mana birokrasi
memegang peranan penting tindakan-tindakan social, mau tak mau harus mempunyai
dasar hokum untuk sahnya. Oleh sebab itu, apabila pemerintah ingin membentuk
badan-badan yang berfungsi untuk mengubah masyarakat (secara Terencana), maka
hokum diperlukan untuk membentuk badan tadi serta untuk menentukan dan
membatasi kekuasaannya. Dalam hal ini kaidah hokum mendorong terjadinya perubahan-perubahan
social dengan membentuk badan-badan yang secara langsung berpengaruh terhadap
perkembangan-perkembangan di bidang-bidang social, ekonomi, dan politik.
• Hukum sebagai sarana pengatur perikelakuan.
Sebagai social engineering, hokum
merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga
masayrakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah di tetapkan sebelumnya.
Kalau hokum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hokum sebagai
sarana saja. Selain pengetahuan yang manatap tentang sifat hakikat hokum, juga
perlu diketahui adalah batas-batas di dalam penggunaan hokum sebagai sarana
(untuk mengubah ataupun mengatur perikelakuan warga masyarakat).
Suatu contoh misalnya, perihal komunikasi hokum. Kiranya sudah jelas, supaya hokum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hokum tadi harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarakat bagi penyebaran serta pelembagaan hokum. Komunikasi hokum dapat dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi. Di samping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hokum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini lah yang dinamakan difusi.
Suatu contoh misalnya, perihal komunikasi hokum. Kiranya sudah jelas, supaya hokum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hokum tadi harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarakat bagi penyebaran serta pelembagaan hokum. Komunikasi hokum dapat dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi. Di samping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hokum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini lah yang dinamakan difusi.
Masyarakat terdiri dari
pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang di dalam kehidupannya berkaitan
secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa yang ada di dalam
lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan, dibatasi oleh
suatu kerangkan tertentu. Artinya, kalau dia sampai melampaui batas-batas yang
ada, maka mungkin dia menderita; sebaliknya, kalau dia tetap berada di dalam
batas-batas tertentu, maka dia akan mendapat imbalan-imbalan tertentu pula.
Apakah yang akan dipilih oleh
pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok, tergantung pada factor-faktor fisik,
psikologis, dan social. Di dalam suatu masyarakat di mana interaksi social
menjadi intinya, maka perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain,
merupakan hal yang sangat menentukan. Akan tetapi, walaupun manusia selalu
memilih, ada kecenderungan bahwa dia mengadakan pilihan-pilihan yang sama,
secara berulang-ulang atau teratur. Hal ini disebabkan oleh karena manusia
pribadi tadi menduduki posisi-posisi tertentu dalam masyarakat dan peranannya
pada posisi tersebut ditentukan oleh kaidah-kaidah tertentu. Selain daripada
itu, peranannya huga tergantung dan ditentukan oleh berperannya pihak-pihak
lain di dalam posisinya masing-masing. Selanjutnya, hal itu juga dibatasi oleh
pihak-pihak yang mengawasi dan memberikan reaksi terhadap peranannya, maupun
kemampuan serta kepribadian manusia. Pribadi-pribadi yang memilih, melakukan
hal itu, oleh karena dia percaya bahwa dia menghayati perikelakuan yang
diharapkan dari pihak-pihak lain, dan bagaimana reaksi pihak-pihak lain
terhadap perikelakuannya. Oleh karena itu, untuk menjelaskan mengapa seseorang
menentukan pilihan-pilihan tertentu, maka harus pula dipertimbangkan
anggapan-anggapan tentang apa yang harus dilakukannya atau tidak harus
dilakukan maupun anggapan tentang yang harus dilakukan oleh lingkungannya.
Inilah yang merupakan struktur normative yang terdapat pada diri pribadi
manusia, yang sekaligus merupakan potensi di dalam dirinya, untuk dapat
mengubah perikelakuannya, melaui perubahan-perubahan terencana di dalam wujud
penggunaan kaidah-kaidah hokum sebagai sarana. Dengan demikian, maka pokok di
dalam proses purabahan perikelakuan melaui kaidah-kaidah hokum adalah
konsepsi-konsepsi tentang kaidah, peranan dan sarana maupun cara untuk
mengusahakan adanya konformitas.
Pribadi yang mempunyai peranan
dinamakan pemegang peranan (role occupant) dan perikelakuannya adalah
berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan
yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah. Konsepsi sosiologis tersebut mungkin
akan lebih jelas bagi kalangan hokum, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa
hokum. Pemegang peranan adalah subyek hokum, sedangkan peranan merupakan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum,
Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Cet I: Jakarta: Chandra Pratama,
1996).
Muhammad Abu Zahrah, Ushul
ul-Fiqhi (Kairo: Darul Fikriil ‘Arabi, t.th).
0 komentar:
Posting Komentar