Jumat, 18 Oktober 2013

PEMBELAJARAN YANG MENDIDIK

1.     JELASKAN DEFENISI TENTANG PENDIDIKIAN, PENGAJARAN, BELAJAR, DAN PEMBELAJARAN
·        PENDIDIKAN
pendidikan ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang di berikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang di ciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari dan sebagainya) dan di tujukan kepada orang yang belum dewasa
 (Hasbullah. 2011. dasar-dasar ilmu pendidikan (edisi revisi).  jakarta: rajawali pers, hlm 02)

·        PENGAJARAN
Pengajaran adalah suatu proses penyampaian dan cara penyampaian pengetahuan yang paling tepat adalah dengan menggunakan metode imposisi, yakni dengan jalan menuangkan ilmu pengetahuan kepada siswa
(
Sadulloh, Uyoh, dkk. 2010. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bumisiliwangi: Alfabeta. )

·        BELAJAR
Melatih daya-daya yag ada dalam diri siswa agar berfungsi sebagaimana di harapkan bisa membentuk asosiasi-asosiasi dalam jiwa yang kemudian terbentuklah yang di sebut state of mind yang berupa proses perubahan tingkah laku berkat pengalaman dan latihan
(hamalik, 1990, Oemar. Belajar dan mengajar ilmu pertanian (pendekatan terpadu), bandung: mandiri maju, hlm 05)

·        PEMBELAJARAN
Pembelajaran memiliki hakikat perencanaan atau perancangan (desain) sebagai upaya untuk membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam belajar, siswa tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi berimteraksi dengan keseluruhan seumber belajar yang di pakai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang di inginkan.
(uno, Hamzah b. 1998, teori belajar dan pembelajaran (suatu pengantar), STKIP gorotalo: nurul jannah)

2.     BAGAIMANA UPAYA GURU AGAR PROSES BELAJAR MENGAJAR MENGARAH KEPADA PEMBELAJARAN YANG MENJUNJUNG TINGGI POTENSI ANAK DIDIK

Agar proses belajar mengajar mengarah kepada pembelajaran yang menjunjung tinggi potensi anak didik langkah utama minimal mengandung dua unsur yang mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar siswa yaitu kegiatan siswa dan  materi, syarat penting yang harus di penuhi adalah
·        Hendaknya memberikan peluang bagi siswa untuk mencari mengolah, dan menemukan sendiri pengetahuan di bawah bimbingan guru
·        Merupakan pola yang mencerminkan ciri khas dalam pengembangan keterampilan dalam mata pelajaran  yang bersangkutan, misalnya observasi di lingkungan sekitar, penyeliikan, eksperimen, pemecahan masalah, simulasi, wawancara dengan narasumber, penggunaan peta, dan pemanfaatan kliping
·        Di sesuaikan dengan ragam sumber belajar dan sarana belajar yang tersedia
·        Bervariasi dengan mengombinasikan antarkegiatan belajar perseorangan, pasangan, kelompok, dan klasikal
·        Memerhatikan pelayanan terhadap perbedaan individual siswa seperti bakat, kemampuan, minat, latar belakang keluarga,sosial ekonomi, dan budaya, serta masalah khusus yang di hadapi siswa yang bersangkutan
(Kunandar .2009.  guru profesional. Jakarta: rajawali pers. hml 267-268)

·        Hindari indoktrinasi dengan membiarkan siswanya aktif dalam:
·        berbuat
·        bertanya
·        bersikap kritis terhadap apa yang di pelajarinya,
·        mengungkapkan alternatif pandangan (yang bahkan berbeda dengan pandangan gurunya)
·        hindari paham bahwa hanya ada satu nilai saja yang benar. Guru tidak berpandangan bahwa apa yang di sampaikannya adalah yang paling benar, seharusnya yang di kembangkan adalah memberi ruang yang cukup lapang akan hadirnya gagasan alternatif dan kreatif terhadap penyelesaian suatu persoalan
·        beri kebebasan untuk berbucara, “diam itu emas” dan “banyak bicara di kelas adalah menganggu” perlu di hindari. Siswa perlu di biasakan untuk berbicara. Siswa berbicara dalam konteks penyampaian gagasan serta proses membangun dan meneguhkan sebuah pengertian
·        berilah peluang bahwa siswa boleh berbuat salah. Kesalahan merupakan bagian penting dalam pemahaman. Guru perlu menelusuri bersama di mana telah terjadi kesalaham dan membantu meletakkannya dalam kerangka yang benar
·        kembangkan cara berpikir ilmiah dan berpikir kritis, dengan ini siswa di arahkan untuk tidak selalu mengiyakan apa yang dia terima, melainkan dapat memahami sebuah pengertian dan memahami mengapa harus demikian.
·        Berilah kesempatan yang luas kepada siswa untuk bemimpi (dream) atau berfantasi (gagasan paulo freire). Kesempatan berfantasi bagi siswa menjadikan dirinya memiliki waktu untuk dapat berandai-andai  dan bermimipi tentang sesuatu yang menjadi keingintahuannya. Dengan cara demikian, siswa dapat berandai-andai mengenai berbagai kemungkinan cara dan peluang untuk mencapai inspirasi, serta untuk mewujudkan rasa ingin tahunya. Hal demikian pada gilirannya menanti dan menantang siswa untuk menelusuri dan mewujudkannya dalam aktifitas yang sesungguhnya.
(suparno,paul, 2002, reformasi pendidikan, yogyakarta: kanisius (anggota IKAPI) hlm 48-50)



DAFTAR PUSTAKA

·        Hasbullah, 2011. dasar-dasar ilmu pendidikan (edisi revisi). jakarta: rajawali pers, hlm. 02
·        Hamalik, Oemar, 1990, Belajar dan mengajar ilmu pertanian (pendekatan terpadu),  bandung: mandiri maju, hlm. 05
·        Uno, Hamzah b, 1998, teori belajar dan pembelajaran (suatu pengantar), STKIP gorotalo: nurul jannah)
·        Kunandar ,2009,  guru profesional. Jakarta: rajawali pers. Hlm. 267-268)
·        Suparno, Paul, dkk.  2002, reformasi pendidikan, yogyakarta: kanisius (anggota IKAPI).  hlm.48-50)
·        Sadulloh, Uyoh, dkk. 2010. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bumisiliwangi: Alfabeta.


Rabu, 09 Oktober 2013

SOIOLOGI AGAMA

PENGERTIAN SOSIOLOGI AGAMA
Jika berbicara mengenai definisi Sosiologi Agama, maka ada beberapa hal yang kami singgung dalam pembahasan ini, di antaranya adalah mengenai pengertian Sosiologi, Agama, prinsip sosiologi, dan objek kajian Sosiologi Agama. Sosiologi secara umum adalah ilmu pengetauan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnya.
Sosiologi juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang perilaku social ditinjau dari kecenderungan individu dengan individu lain, dengan memperhatikan symbol-simbol interaksi.
Agama dalam arti sempit ialah seperangkat kepercayaan, dogma, peraturan etika, praktek penyembahan, amal ibadah, terhadap tuhan atau dewa-dewa tertentu. Dalam arti luas, agama adalah suatu kepercayaan atau seperangkat nilai yang minimbulkan ketaatan pada seseorang atau kelompok tertentu kepada sesuatu yang mereka kagumi, cita-citakan dan hargai.
Ada beberapa definisi Sosiologi Aagama, di antaranya adalah:
Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara utuh dengan berbagai system agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan system keagamaan yang berbeda.
Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena social, dan memandang agama sebagai fenomena social. Sosiologi Aagama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.
Sosiologi Agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Devinisi I
Menurut Dr. H. Goddijn Sisologi Agama ialah bagian dari Sosiologi Umum (versi Barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profon dan positif yang menuju pada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok kegamaan dan gejalah-gejalah kelompok kegamaan.
Devinisi II
Sosiologi Agama ialah suatu cabang Sosiologi Umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnnya. Segi-segi penting yang hendak ditonjolkan dalam devinisi itu antara lain:
OBJEK KAJIAN SOSIOLOGI AGAMA.
Obyek Material (langsung)
Menurut Keith A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah memfokuskan kajian paada:
·        Kelompok-kelompok dan lemabaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembaharuannya
·        Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses social yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual
·        Konflik antar kelompok, misalnya Katolik lawan Protestan, Kristen dengan Islam dan sebagainya. Bagi sosiolog, kepercayaan hanyalah salah satu bagian kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiannya.
Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran sosiologi agama adalah masyarakat agama, sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai sutu system (dogma dan moral), tetapi agama sebagai fenomena social, sebagai fakta social yang dapat dilaksanakan dan dialami oleh banyak orang. Ilmu ini hanya mengkonstatasi akibat empiris kebenaran-kebenaran supra-empiris, yaitu yang disebut dengan istilah masyarakat agama, dan itulah sasaran langsung dari sosiologi agama.

OBYEK FORMAL (PENDEKATAN)
Yang hendak dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat manusia. Lebih konkrit misalnya, seberapa jauh unsure kepercayaan mempengaruhi pembentukkan kepribadian pemeluk-pemeluknya, ikut menciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar dan haluan Negara, memainkan peranan dalam memunculkan strata social. Jadi hal-hal tersebut dalam contoh di atas  yang berkaitan erat dengan masalah agama, Sosiologi Agama menyorotinya dari sudut pandang sosiologis.
PRINSIP SOSIOLOGI AGAMA.
Prinsip sosiologi ditandai dengan 2 prinsip dasar, yaitu: percaya kepada data empiric dan objektivitas. Sosiolog hanya berurusan dengan fakta-fakta yang dapat diukur, diobservasi dan diuji. Dalam prinsip objektivitas, bukan berarti bahwa sosiolog mengklaim bahwa tidak bias salah, atau bias mencapai kebenaran umum, sebab tidak ada satu disiplin ilmu pun yang berhak menyatakan dirinya maha tahu atau paling benar. Objektivitas berarti sosiolog berusaha mencegah kepercayaan agama pribadi masuk ke dalam bidang studinya. Ilmuan social harus sepenuh hati untuk mencari kebenaran. Sebagai warga Negara sosiolog mempunyai kepentingan dan preferensi nasional namun mereka harus terbuka terhadap data dan menghindarkan diri dari prejudgment (mengambil keputusan sebelum membuktikan kebenarannya) terhadap suatu kelompok atau proses keagamaan tertentu. Seorang sosiolog boleh tidak setuju dengan pandangan suatu kelompok yang sedang diteliti, tetapi harus berusaha untuk mengerti kelompok itu atas dasar penelitiannya menghindarkan bias dalam interpretasi proses-proses kelompok itu.
TEMPAT SOSIOLOGI AGAMA
Tempat sosiologi agama sudah diterangkan dalam definisi sosiologi agama itu sendiri. Ia merupakan cabang dan juga vertical dari sosiologi umum. Maka, sosiologi agama merupakan ilmu yang menduduki tempat yang profan. Ia bukanlah ilmu yang sacral; ilmu yang dilakukan dan dibina oleh sarjana ilmu social, baik orangnya suci maupun tidak suci. Karena maksud ilmu tersebut bukanlah untuk membuktikan kebenaran (objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal masyarakat agama.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa sosiologi agama mempunyai kedudukan yang sama tingginya dengan rumpun ilmu social yang lain,dan ilmu ini lebih merupakan ilmu praktis (terpakai) daripada ilmu teoritis murni. Ia diciptakan untuk memecahkan masalah-masalah sosio-religius yang timbul waktu itu di Eropa akibat kurangnya pengetahuan tentang segi-segi sosiologis kehidupan beragama.
FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA
Sosiologi agama memberikan kontribusi yang tidak kecil lagi bagi instansi keagamaan. Sebagai sosiologi positif ia telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian juga sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah social nonkeagamaan, memberikan pengetahuan tentang pola-pola interkasi social keberagamaan yang terjadi dalam masyarakat, membantu kita untuk mengontrol atau mengendalikan setiap tindakan dan perilaku keberagamaan kita dalam kehidupan bermasyarakat, dengan bantuan sosiologi agama, kita akan semakin memahami nilai-nilai, norma, tradisi  dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat lain serta memahami perbedaan yang ada. Tanpa hal itu, mejadi alas an untuk timbulnya konflik di antara umat beragama, membuat kita lebih tanggap, kritis dan rasional untuk mengahadapi gejala-gejala social keberagamaan masyarakat, serta kita dapat mengambil tindakan yang tepat dan akurat terhadap setiap situasi social yang kita  hadapi.

Menurut pandangan Durkheim, fungsi sosiologi agama adalah mendukung dan melestraikan masyarakat yang sudah ada. Djamari berpendapat bahwa ada 2 implikasi sosiologi agama bagi agama, yaitu:
Menambah pengertian tentang hakikat fenomena agama di beragai kelompok masyarakat, maupun pada tingkat individu;
Suatu kritik sosiologis tentang peran agama dalam mayarakat dapat membantu kita untuk menentukan masalah teologi yang mana yang paling berguna bagi masyarakat, baik dalam arti sekuler maupun religious.
Dengan cara ini, sosiologi agama memberikan sumbangan kepada dialog kegamaan di dalam masyarakat. Semua pelopor sosiologi Eropa, seperti Karl Marx, Weber, Durkheim, serta Simmel berpendapat bahwa untuk mengerti masyarakat modern, seseorang harus mengerti peran penting agama dalam masyarakat.
PENGERTIAN SOSIOLOGI AGAMA MENURUT PARA PAKAR
Jika berbicara mengenai definisi sosiologi agama, maka ada beberapa hal lain yang tidak lupa kami singgung dalam pembahasan ini, di antaranya adalah mengenai pengertian sosiologi, agama,. Sosiologi secara umum adalah ilmu pengetauan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hokum kemasyarakatan yang seumum-umumnya.
Sosiologi juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang perilaku social ditinjau dari kecenderungan individu dengan individu lain, dengan memperhatikan symbol-simbol interaksi. Agama dalam arti sempit ialah seperangkat kepercayaan, dogma, pereturan etika, praktek penyembahan, amal ibadah, terhadap tuhan atau dewa-dewa tertentu. Dalam arti luas, agama adalah suatu kepercayaan atau seperangkat nilai yang minmbulkan ketaatan pada seseorang atau kelompok tertentu kepada sesuatu yang mereka kagumi, cita-citakan dan hargai.
Adapun kalau kedua istilah “sosiologi” dan “agama” digabungkan maka memiliki beberapa definisi berikut:
Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat atau perbedaan masyarakat secara utuh dengan berbagai sistem agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan sistem keagamaan yang berbeda.
Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan
Sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Sosiologi agama menjadi disiplin ilmu tersendiri sejak munculnya karya Weber dan Durkheim. Jika tugas dari sosiologi umum adalah untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seluas-luasnya, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya. Masyarakat agama tidak lain ialah suatu persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun luas) yang unsure konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
Jika teologi mempelajari agama dan masyarakat agama dari segi “supra-natural”, maka sosiologi agama mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang akan dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat. Lebih konkrit lagi, misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya; ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan; mewarnai dasar-dasar haluan Negara; memainkan peranan dalam munculnya strata (lapisan) sosial; seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, fanatisme dan lain sebagainya.
Menurut Keith A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah memfokuskan kajian pada:
·        Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembaharuannya.
·        Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual.
·        Konflik antar kelompok, misalnya Katolik lawan Protestan, Kristen dengan Islam dan sebagainya.
Bagi sosiologi, kepercayaan hanyalah salah satu bagian kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiannya. Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran sosiologi agama adalah masyarakat agama, sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem (dogma dan moral), tetapi agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat dilaksanakan dan dialami oleh banyak orang.
Menurut pandangan sosiologi, agama yang terwujud dalam kehidupan masyarakat adalah fakta social. Sebagaimana suatu fakta social, agama dipelajari oleh sosiolog dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Disiplin ilmu yang dipergunakan oleh sosiolog dalam mempelajari masyarakat beragama itu disebut sosiologi agama. Sosiologi agama adalah suatu cabang ilmu yang otonomi muncul setelah akhir abad ke-19. Pada prinsipnya, ilmu ini sama dengan sosiologi umum, yang membedakannya adalah objek materinya.[23]
Seorang ahli sosiologi agama Indonesia Hendropuspito mengatakan bahwa sosiologi agama ialah suatu cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya. Dari definisi sosiologi agama diatas dapat disimpulkan bahwa sosiologi agama sama dengan sosiologi pada umumnya yaitu sama-sama mempelajari masyarakat agama dengan pendekatan ilmu social bukan teologis. Tetapi tidak semua pernyataan dalam definisi tersebut dapat kita setujui, terutama dalam pernyataan bahwa sosiologi agama untuk kepentingan masyarakat agama  atau masyarakat umumnya.
Dalam berbagai literatur defisi diatas atau definisi sosiologi agama hamper tidak ada perbedaan yang sangat berarti. Namun demikian dikemukakan berbagai pengertian sosiologi agama menurut beberapa ahli sosiologi.J.Wach merumuskan sosiologi agama secara luas sebagai suatu study tentang interelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka. Sedangkan menurut H.Goddijn-W.Goddijn, sosiologi agama ialah bagian dari sosiologi umum yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profane, dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur , fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan.[24]
Dari definisi-definisi tersebut diatas kiranya sudah cukup jelas memberikan gambaran kepada kita bahwa sosiologi agama pada hakikatnya adalah cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama (religious society) secara sosiologis untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi untuk masyarakat agama itu sendiri dan umat atau masyarakat pada umumnya.
Sosiologi agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri, dan berbagai hubungan antar agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang bukan agama. Para ahli memandang bahwa agama adalah suatu pengertian yang luas dan universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari sudut pandang individu

SOSIOLOGI HUKUM

Pengertian Hukum
Di tinjau dari segi etimologi, hukum berasal dari bahasa arab yang berbentuk mufrad (tunggal). Kata jamaknya adalah “alkas’nya di ambil alih dalam bahasa indonesia menjadi “hukum”.  Hukum juga dinamakan recht yang berasal dari kata rechtum, di ambil dari bahasa latin yang berarti pimpinan atau tuntunan atau pemerintahan.
Beberapa pendapat tentang definisi hukum, di antara lain:

1.    Menurut Prof. Dr. P. Borst

Hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat, yang pelaksanaanya dapat dipaksakan dan bertujuan untuk mendapatkan tata atau keadilan.

2.    Menurut Prof. Dr. Van Kan

Dalam buku karangannya yang terkenal yait “Inleiding tot de Rechtswetenschap” mendefinisikan hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.

3.    Menurut Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldoorn

Dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de Studie Van Het Nederlandse recht” memberikan pengertian sebagai berikut “memberikan definisi/batasan hukum, sebenarnya hanya bersifat menyamaratakan saja, dan itupun tergantung siapa yang memberikan”.

Pengertian Kontrol Sosial
Secara umum pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang di tempuh kelompok atau orang masyarakat, sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai denagn harapan kelompok atau masyarakat.Dalam sistem pemerintahan , pengendalian sosial di artikan sebagai pengawasan yang di lakukan masyarakat terhadap jalannnya pemerintahan, khususnya pemerintah beserta aparatnya . pengertian pengendalian sosial tersebut mencakup segala proses yang di rencanakan atau tidak serta bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa warga masyarakat mematuhi kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
Kontrol sosial menurut para pakar :
  • Peter I. Berger
adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggota yang membangkang.
  • Roucek & Warren
adalah proses yang terencana atau tidak terencan untuk mengajar individu agar dapat menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan nilai-nilai kelompok tempat mereka tinggal.
  • Soejono Soekanto
adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
 
Jadi, Kontrol sosial dapat disimpulkan sebagai semua cara yang atau sarana yang digunakan untuk mengendalikan tingkah laku warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah yang berlaku.
Hukum Sebagai Sosial Kontrol
Dalam memandang hukum sebagai alat kontrol sosial manusia, maka hukum merupakan salah satu alat pengendali sosial. Alat lain masih ada sebab masih saja diakui keberadaan pranata sosial lainnya (misalnya keyakinan, kesusilaan).
Kontrol sosial merupakan aspek normatif kehidupan sosial. Hal itu bahkan dapat dinyatakan sebagai pemberi defenisi tingkahg laku yang menyimpang dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti berbagai larangan, tuntutan, dan pemberian ganti rugi.
Hukum sebagai alat kontrol sosial memberikan arti bahwa ia merupakan sesuatu yang dapat menetapkan tingkah laku manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang menyimpang terhadap aturan hukum. Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan sangsi atau tindakan terhadap si pelanggar. Karena itu, hukum pun menetapkan sanksi yang harus diterima oleh pelakunya. Ini sekaligus berarti bahwa hukum mengarahkan agar masyarakat berbuat secara benar menurut aturan sehingga ketentraman terwujud.
Pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok lain, atau apabila kelompok mengendalikan anggotanya atau kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Dengan demikian pengendalian social terjadi dalam tiga taraf yakni:
1. kelompok terhadap kelompok
2. kelompok terhadap anggotanya
3. pribadi terhadap pribadi
Dengan kata lain pengendalian social terjadi apabila seseorang diajak atau dipaksa untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginan pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya ataupun tidak. Jika dikatakan pengendalian social itu memiliki unsur pengajakan atau pemaksaan kehendak kepada pihak lain, maka kesiapan pihak lain itu untuk menerimanya sudah tentu didasarkan kepada keadaan-keadaan tertentu.
Sanksi hukum terhadap perilaku yang menyimpang, ternyata terdapat perbedaan di kalangan suatu masyarakat. Tampaknya hal ini sangat berkait dengan banyak hal, seperti keyakinan agama, aliran falsafat yang dianut. Dengan kata lain, sangsi ini berkait dengan kontrol sosial. Ahmad Ali menyebutkan sangsi pezina berbeda bagi masyarakat penganut Islam secara konsekuen dengan masyarakat Eropa Barat. Orang Islam memberikan sangsi yang lebih berat, sedangkan orang Eropa Barat memberi sangsi yang ringan saja. Dengan demikian, di samping bukan satu-satunya alat kontrol sosial, juga hukum sebagai alat pengendali memainkan peran pasif. Artinya bahwa hukum menyesuaikan diri dengan kenyataan masyarakat yang dipengaruhi oleh keyakinan dan ajaran falsafat lain yang diperpeganginya.
Dalam pada itu, disebutkan pula bahwa fungsi hukum ini lebih diperluas sehingga tidak hanya dalam bentuk paksaan. Fungsi ini dapat dijalankan oleh dua pihak: 1) pihak penguasa negara. Fungsi ini dijalankan oleh suatu kekuasaan terpusat yang berwujud kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh the ruling class tertentu. Hukumnya biasanya dalam bentuk hukum tertulis dan perundang-undangan. 2) masyarakat; fungsi ini dijalankan sendiri oleh masyarakat dari bawah. Hukumnya biasa berbentuk tidak tertulis atau hukum kebiasaan.
Fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial dapat berjalan dengan baik bila terdapat hal-hal yang mendukungnya. Pelaksanaan fungsi ini sangat berkait dengan materi hukum yang baik dan jelas. Selain itu, pihak pelaksana sangat menentukan pula. Orang yang akan melaksanakan hukum ini tidak kalah peranannya. Suatu aturan atau hukum yang sudah memenuhi harapan suatu masyarakat serta mendapat dukungan, belum tentu dapat berjalan dengan baik bila tidak didukung oleh aparat pelaksana yang kimit terhadap pelaksanaan hukum. Hal yang terakhir inilah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Aparat sepertinya dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur lain yang sepatutnya tidak menjadi faktor penentu, seperti kekuasaan, materi dan pamrih serta kolusi. Citra penegak hukum masih rawan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Cet I: Jakarta: Chandra Pratama, 1996). Muhammad Abu Zahrah, Ushul ul-Fiqhi (Kairo: Darul Fikriil ‘Arabi, t.th).

A.          Hukum Sebagai Alat Pengubah Masyarakat
Hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Suatu perubahan social yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social engineering atau social planning. Hokum mepunyai pengaruh langsung atau pengaruh yang tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan social. Misalnya, suatu peraturan yang menentukan system pendidikan tertentu bagi warga Negara mepunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat penting bagi terjadinya perubahan-perubahan social.
Di dalam berbagai hal, hukum mempunyai pengaruh yang langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan yang artinya adalah bahwa terdapat hubungan yang langsung antara hokum dengan perubahan-perubahan social. Suatu kaidah hokum yang menetapkan bahwa janda dan anak-anak tanpa memperhatikan jenisnya dapat menjadi ahliwaris mempunyai pengaruh langsung terhadapat terjadinya perubahan-perubahan social, sebab tujuan utamanya adalah untuk mengubah pola-pola perikelakuan dan hubungan-hubungan antara warga masyarakat.
Pengalaman-pengalaman di Negara-negara lain dapat membuktikan bahwa hokum, sebagiamana halnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya dipergunakan sebagai alat untuk mengadakan perubahan social. Misalnya di Tunisia, maka sejak diperlakukannya Code of Personal Status pada tahun 1957, seorang wanita yang telah dewasa, mempunyai kemampuan hokum untuk menikah tanpa harus di dampingi oleh seorang wali.
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hokum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan. Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan direncanakan dimaksudkan sebagai suatu perubahan yang dikehendaki dan direncanakan oleh warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat. Dan dalam masyarakat yang sudah kompleks di mana birokrasi memegang peranan penting tindakan-tindakan social, mau tak mau harus mempunyai dasar hokum untuk sahnya. Oleh sebab itu, apabila pemerintah ingin membentuk badan-badan yang berfungsi untuk mengubah masyarakat (secara Terencana), maka hokum diperlukan untuk membentuk badan tadi serta untuk menentukan dan membatasi kekuasaannya. Dalam hal ini kaidah hokum mendorong terjadinya perubahan-perubahan social dengan membentuk badan-badan yang secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan-perkembangan di bidang-bidang social, ekonomi, dan politik.

• Hukum sebagai sarana pengatur perikelakuan.
Sebagai social engineering, hokum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masayrakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah di tetapkan sebelumnya. Kalau hokum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hokum sebagai sarana saja. Selain pengetahuan yang manatap tentang sifat hakikat hokum, juga perlu diketahui adalah batas-batas di dalam penggunaan hokum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun mengatur perikelakuan warga masyarakat).
Suatu contoh misalnya, perihal komunikasi hokum. Kiranya sudah jelas, supaya hokum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hokum tadi harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarakat bagi penyebaran serta pelembagaan hokum. Komunikasi hokum dapat dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi. Di samping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hokum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini lah yang dinamakan difusi.
Masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang di dalam kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa yang ada di dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan, dibatasi oleh suatu kerangkan tertentu. Artinya, kalau dia sampai melampaui batas-batas yang ada, maka mungkin dia menderita; sebaliknya, kalau dia tetap berada di dalam batas-batas tertentu, maka dia akan mendapat imbalan-imbalan tertentu pula.
Apakah yang akan dipilih oleh pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok, tergantung pada factor-faktor fisik, psikologis, dan social. Di dalam suatu masyarakat di mana interaksi social menjadi intinya, maka perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, merupakan hal yang sangat menentukan. Akan tetapi, walaupun manusia selalu memilih, ada kecenderungan bahwa dia mengadakan pilihan-pilihan yang sama, secara berulang-ulang atau teratur. Hal ini disebabkan oleh karena manusia pribadi tadi menduduki posisi-posisi tertentu dalam masyarakat dan peranannya pada posisi tersebut ditentukan oleh kaidah-kaidah tertentu. Selain daripada itu, peranannya huga tergantung dan ditentukan oleh berperannya pihak-pihak lain di dalam posisinya masing-masing. Selanjutnya, hal itu juga dibatasi oleh pihak-pihak yang mengawasi dan memberikan reaksi terhadap peranannya, maupun kemampuan serta kepribadian manusia. Pribadi-pribadi yang memilih, melakukan hal itu, oleh karena dia percaya bahwa dia menghayati perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, dan bagaimana reaksi pihak-pihak lain terhadap perikelakuannya. Oleh karena itu, untuk menjelaskan mengapa seseorang menentukan pilihan-pilihan tertentu, maka harus pula dipertimbangkan anggapan-anggapan tentang apa yang harus dilakukannya atau tidak harus dilakukan maupun anggapan tentang yang harus dilakukan oleh lingkungannya. Inilah yang merupakan struktur normative yang terdapat pada diri pribadi manusia, yang sekaligus merupakan potensi di dalam dirinya, untuk dapat mengubah perikelakuannya, melaui perubahan-perubahan terencana di dalam wujud penggunaan kaidah-kaidah hokum sebagai sarana. Dengan demikian, maka pokok di dalam proses purabahan perikelakuan melaui kaidah-kaidah hokum adalah konsepsi-konsepsi tentang kaidah, peranan dan sarana maupun cara untuk mengusahakan adanya konformitas.
Pribadi yang mempunyai peranan dinamakan pemegang peranan (role occupant) dan perikelakuannya adalah berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah. Konsepsi sosiologis tersebut mungkin akan lebih jelas bagi kalangan hokum, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa hokum. Pemegang peranan adalah subyek hokum, sedangkan peranan merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan hukum.




DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Cet I: Jakarta: Chandra Pratama, 1996).
Muhammad Abu Zahrah, Ushul ul-Fiqhi (Kairo: Darul Fikriil ‘Arabi, t.th).