Senin, 22 April 2013

PENDIDIKAN KARAKTER

1.      MENGAPA TERJADI KEMEROSOTAN MORAL ATAU KARAKTER TERHADAP BANGSA INDONESIA, JELASKAN DAN KEMUKAKAN ALASANNYA

kemerosotan moral bangsa tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, namun telah menjamur hingga pelosok negeri. indikator yang bisa dijadikan dasar acuan kemerosotan moral bangsa indonesia dapat terlihat dari memudarnya nilai-nilai luhur yang dulu dijunjung tinggi. salah satu contoh yang paling mudah adalah menurunnya rasa hormat terhadap orang tua. terlepas dari pola-pola perilaku yang berkembang dari hubungan anak dan orang tua, secara keseluruhan orang tua yang mengeluhkan “kekurangajaran” anaknya banyak terdengar.
hal ini berarti nilai-nilai menghormati orang tua berubah ke arah yang negatif. hal diatas adalah sebagian contoh terkecil dari bangsa ini, yakni keluarga. belum lagi jika dilihat secara makro, tentu akan lebih banyak lagi, diantaranya menurunnya rasa takut dan malu kepada sang pencipta. akibatnya perbuatan sewenang-wenang terjadi, dari desa hingga ibukota, seperti pemerkosaan, perampokan, penipuan dan lain-lain.
pengamalan pancasila sebagai dasar negara dan filsafat bangsa tampaknya sudah tidak dihiraukan lagi. masyarakat sudah terlalu jauh melangkah ke arah modernisasi sehingga melupakan nilai-nilai moral. tidak salah jika kini pancasila hanya diucapkan dalam kata namun dikhianati dalam perilaku.
demonstrasi anarkis yang dilakukan mahasiswa, menunjukkan bahwa kaum intelektual yang seharusnya memberikan cerminan positif justru melakukan tindakan yang tidak mencerminkan intelektualitasnya. para pendemo merusak fasilitas umum yang dibangung oleh uang rakyat dan harus dibangun kembali apabila terjadi carut marut, bukankah sama saja dengan merusak keuangan negara yang belum stabil.
demonstrasi memang perlu dilakukan untuk menyambungkan aspirasi rakyat yang tidak didengar oleh pemangku trias politika negeri ini. alangkah eloknya apabila demonstrasi yang dilakukan adalah demonstrasi yang aman, damai, dan tanpa dibumbui unsur anarkisme.

penyimpangan sosial

penyimpangan sosial di kalangan mahasiswa pun patut dijadikan sorotan. sudah tidak asing lagi perbuatan asusila yang dilakukan mahasiswa, seperti homoseksual yang kian marak, free seks yang tidak terkendali, juga peniruan karya orang lain (plagiat). semoga saja ini bukan budaya para agent of change tetapi hanya oknum yang merupakan minoritas dari mahasiswa itu sendiri.
 penyimpangan ini tidak terlepas dari proses meniru yang berkiblat ke barat. miris memang saat mereka lebih mengelu-elukan nilai kebebasan dan melupakan nilai-nilai asli indonesia yang seharusnya menjadi identitas diri.
           
pembentukan karakter

pembentukan karakter setiap individu berbeda-beda. ada yang sudah mulai pembentukan karakter sejak pranatal (sebelum dilahirkan), ketika dilahirkan, pada usia 4 tahun, bahkan ada pendapat pembentukan karakter seseorang dimulai ketika menemukan pasangan. namun, senagian besar menyebutkan bahwa pembentukan karakter dimulai sejak dini. oleh karena itu keefektifan pendidikan karakter di perguruan tinggi dirasa kurang berdampak besar. sebab sebagian besar karakter mahasiswa sudah terbentuk sejak lahir hingga menginjak usia dewasa.
solusi yang ditawarkan memang beragam. kemerosotan nilai-nilai moral bisa diselesaikan dengan cepat dan efektif. diantaranya dengan mengganti mind set bahwa pendidikan bukan hanya untuk mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga mentransfer nilai-nilai, dengan adanya transfer nilai ini diharapkan nilai-nilai yang mulai dilupakan akan dapat digali, ditemukan, dan diamalkan kembali oleh generasi muda yang ada.
upaya lain adalah dengan memberikan teladan bagi generasi masa kini. karena apa? generasi kita sekarang ini memiliki krisis untuk memilih siapa yang akan mereka contoh atau siapa yang akan memberikan tuntutan keteladanan, yang pada akhirnya mereka salah meniru. mereka mengimitasi bahkan hingga mengidentifikasi artis-artis baik dalam maupun luar negeri yang keteladannya patut dipertanyakan. hilangnya panutan jelas berpengaruh besar yang dapat kita rasakan kini.
pendidikan karakter juga jelas dapat dijadikan alternatif solusi namun penerjemahan dalam tindakan nyata kurang dapat terealisasi. efektifitas pendidikan karakter di perguruan tinggi yang seolah-olah “memaksa” hanya akan sia-sia. saat karakter mahasiswa saat usia mahasiswa.
jangan sampai pendidikan karakter yang dielu-elukan oleh berbagai universitas ini hanyalah dijadikan salah satu mata kuliah syarat kelulusan saja, tetapi juga benar-benar bisa menjadi usaha pemecahan masalah kemerosotan moral di kalangan mahasiswa pada khususnya dan semua generasi muda pada umumnya. karena dengan mengubah pemuda kita dapat menggebrak dunia.



   2.  BAGAIMANA UNTUK MENGATASI KEMEROSOTAN MORAL ATAU KARAKTER TERSEBUT
Berbicara mengenai format pendidikan moral di Indonesia, maka zaman Orde Baru paling tidak menjadi landasan kuat untuk mengkajinya. Tentu belum hilang dalam memori kolektif kita tatkala pemerintah masa Orde Baru memformulasi format pendidikan moral yang dihubungkaitkan dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Dimana dalam pancasila terdapat sila-sila yang berkaitan dengan moral salah satunya yaitu sila pertama “KeTuhanan Yang Maha Esa”. Dalam sila pertama itu mempunyai makna yang dapat diambil selain secara tersurat bahwa Tuhan itu satu namun mencerminkan bahwa bangsa Indonesia berpegang pada nilai-nilai agama selain pada nilai-nilai hukum.
Hal ini dimaksudkan bahwa sebagai dasar negara, maka kedudukan Pancasila merupakan landasan dan falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara. Karena itu, proses pendidikan moral ini dilakukan melalui pemberian mata pelajaran bernama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang kemudian berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Pentingnya pendidikan moral ini, sehingga ia menjadi mata pelajaran istimewa di samping mata pelajaran pendidikan agama. Betapa tidak, nilai rendah atas kedua mata pelajaran ini dahulu menjadi bahan pertimbangan atau penentu apakah seseorang naik atau tinggal kelas. Bahkan proses penilaian atas mata pelajaran khusus pendidikan moral ini, tidak hanya dilihat dari aspek kognitif semata. Sebaliknya, tingkah laku peserta didik dengan berbagai standar nilai yang telah ditetapkan menjadi indikator penentu.
Namun seiring berjalannya waktu pelajaran tersebut bukan lagi menjadi pelajaran yang istimewa bahkan menjadi pelajaran yang membosankan bahkan ada juga yang menganggap pelajaran tersebut tidak penting karena sudah terlalu sering menemukan pelajaran itu mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah.
Karena banyak masyarkat yang mulai bosan dengan pelajaran PPKn ditambah dengan adanya globalisasi sehingga pelajaran tersebut lambatlaun menjadi pelajaran yang benar-banar tidak penting. Anggapan tidak pentingnya pelajaran itu membuat moral bangsa Indonesia mengalami keterpurukan atau kemerosotan.
Nasi sudah menjadi bubur,sekarang kondisi moral bangsa Indonesia sudah mengkhawatirkan jika tidak diatasi dengan benar bukan tidak mungkin moral bangsa Indonesia akan benar-benar hilang. Menyadari kondisi moral bangsa Indonesia yang sudah
kian mengkhawatirkan pemerintah mulai melakukan tindakan yaitu dengan mulai memasukkan pelajaran pendidikan moral. Namun jika hanya memasukkan saja tidak menjadikan pendidikan moral seperti dahulu ketika orde baru maka hasil yang dicapai kemungkinan kurang memuaskan. Pendidikan moral seharusnya menjadi salah satu tolak ukur menentukan kenaikan kelas atau kelulusan sehingga menciptakan generasi yang memiliki tingkat moral yang baik.

3.      FAKTOR-FAKTOR YANG MEMEPENGARUHI PEMBENTUKAN PENDIDIKAN KARAKTER


Faktor-faktorpembentukKarakter

Tindakan manusia pada umumnya didasarkan pada dua keadaan yaitu keadaan sadar dan keadaan tidak sadar. Tindakan sadar berarti bahwa manusia bertindak berdasarkan unsur kehendak atau motif, sedangkan tindakan tidak sadar tidak mengandung unsur kehendak yang pada umumnya disebabkan hilangnya salah satu faktor pendorong tindakan seperti hilangnya akal (gila, koma, pingsan, tidur atau sejenisnya), atau hilangnya kendali diri seperti gerakan refleks. Beban tanggung jawab manusia hanya berlaku pada tindakan sadar saja, sebagaimana sabda RasulullahSAW :
“ Tidak berlaku hukum atas orang gila sampai dia sembuh, orang tidur sampai dia bangun dan anak-anak sampai dia baligh”.
Jadi, karakter atau kepribadian seseorang hanya di ukur dengan apa yang dia lakukan berdasarkan tindakan sadarnya. Dengan demikian ,yang harus kita perhatikan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan sadar tersebut. Secara umum faktor-faktor tersebut terbagi dalam dua kelompok yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah kumpulan dari unsur kepribadian atau sifat manusia yang secara bersamaan mempengaruhi perilaku manusia.Faktor internal tersebut diantaranya :
·        Instink Biologis (Doronganbiologis) seperti makan, minum dan hubungan biologis. Karakter seseorang sangat terlihat dari cara diamemenuhi kebutuhan atau instinks bilogis ini. Contohnya adalah sifat berlebihan dalam makan dan minum akan mendorong pelakunya bersifat rakus/tamak. Seseorang yang bisa mengendalikan kebutuhan biologisnya akan memiliki karakter waro, zuhud dan qona’ah yang membawanya kepada karkater sederhana.
·        Kebutuhan psikologis seperti kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, penerimaan dan aktualisasi diri. Seperti orang yang berlebihan dalam memenuhi rasa aman akan melahirkan karakter penakut, orang yang berlebihan dalam memenuhi kebutuhan penghargaan akan melahirkan karakter sombong/angkuh dll. Apabila seseorang mampu mengendalikan kebutuhan psikologisnya, maka dia akan memiliki karakter tawadhu dan rendah hati.
·        Kebutuhan pemikiran, yaitu kumpulan informasi yang membentuk cara berfikir seseorang seperti isme, mitos, agama yang masuk kedalam benak seseorang akan mempengaruhi cara berfikirnya yang selanjutnya mempengaruhi karakternya.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar diri manusia, namun secara langsung mempengaruhi karakternya. Faktor eksternal tersebut diantaranya faktor keluarga dalam membentuk karakter anak, kemudian faktor sosial yang berkembang di masyarakat yang kemudian disebut budaya, serta  lingkunganpendidikan yang begitu banyak menyita waktu pertumbuhan setiap orang, baik pendidikan formal seperti sekolah atau pendidikan informal seperti media massa, media elektronik atau masjid.
Dalam perkembangannya, sebagian faktor itu bersifat mutlak/tetap dan sebagian lainnya bersifa tnisbi/berubah. Sebagaimana disabdakan  olehRasulullah saw:
“ Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang akan menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi “.
Kalimat “fitrah” mewakili karakter muslim. Kalimat “bapaknyalah” bisa bermakna orang tua dan setiap pihak yang mempengaruhi karakternya, dan kalimat “yahudi, nasrani serta majusi” mewakili karakter atau sifat bukan bangsa atau ras.
Dengan adanya kedua faktor itu, maka bisa disimpulkan bahwa karakter seseorang tergantung kepada dua hal yaitu karak terfitri yahya itu sifat bawaan yang melekat serta karak termuk tasabah yaitu sifat yang terbentuk dari lingkungan alam, social dan pendidikan.Rasulullah SAW bersabda :
“Ilmu di peroleh dengan belajar dan sifat santun diperoleh dengan latihan menjadi santun” (HR Bukhori).

Proses Pembentukan karakter

Karakter terbentuk setelah mengikuti proses sebagai berikut :
·        Adanyanilai yang diserapseseorangdariberbagaisumber, mungkin agama, ideology, pendidikan, temuan sendiri atau lainnya.
·        Nilai membentuk polafikir seseorang yang secara keseluruhan keluar dalam bentuk rumusan visinya.
·        Visi turun kewilayah hati membentuk suasana jiwa yang  secara keseluruhan membentuk mentalitas.
·   Mentalitas mengalir memasuki wilayah fisik dan melahirkan tindakan yang secara keseluruhan disebut sikap.
·        Sikap-sikap yang dominan dalam diri seseorang yang secara keseluruhan mencitrai dirinya adalah apa yang disebut sebagai kepribadian atau karakter.

Jadi, proses pembentukan karakter itu menunjukkan keterkaitan yang erat antara fikiran, perasaan dan tindakan. Dari wilayah akal terbentuk cara berfikir dan dari wilayah fisik terbentuk cara berperilaku. Cara berfikir menjadi visi, cara merasa menjadi mental dan cara berperilaku menjadi karakter. Apabila hal ini terjadi pengulangan yang terus-menerus menjadi kebiasaan, maka sesuai dengan pendapat Imam al-Ghozali yang mengatakan :Akhlak atau karakter adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui proses pemikiran


4.      MODEL PEMBELAJARAN APAKAH YANG TEPAT DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER TERHADAP ANAK DIDIK
Menurut Cohen dalam Degeng (1989), terdapat tiga kemungkinan variasi pembelajaran terpadu yang berkenaan dengan pendidikan yang dilaksanakan dalam suasana pendidikan progresif yaitu kurikulum terpadu (integrated curriculum), hari terpadu (integrated day), dan pembelajaran terpadu (integrated learning). Kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu tema lintas bidang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. Hari terpadu berupa perancangan kegiatan siswa dari sesuatu kelas pada hari tertentu untuk mempelajari atau mengerjakan berbagai kegiatan sesuai dengan minat mereka. Sementara itu, pembelajaran terpadu menunjuk pada kegiatan belajar yang terorganisasikan secara lebih terstruktur yang bertolak pada tema-tema tertentu atau pelajaran tertentu sebagai titik pusatnya (center core/center of interst).
Lebih lanjut, model-model pembelajaran inovatif dan terpadu yang mungkin dapat diadaptasi, seperti yang ditulis oleh Trianto, 2009, dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik adalah sebagai berikut :

1. Fragmentasi
Dalam model ini, suatu disiplin yang berbeda dan terpisah dikembangkan merupakan suatu kawasan dari suatu mata pelajaran
2. Koneksi
Dalam model ini, dalam setiap topik ke topik, tema ke tema, atau konsep ke konsep isi mata pelajaran dihubungkan secara tegas
3. Sarang
Dalam model ini, guru mentargetkan variasi keterampilan (sosial, berpikir, dan keterampilan khusus) dari setiap mata pelajaran.
4. Rangkaian/Urutan
Dalam model ini, topik atau unit pembelajaran disusun dan diurutkan selaras dengan yang lain. Ide yang sama diberikan dalam kegiatan yang sama sambil mengingatkan konsep-konsep yang berbeda.
5. Patungan
Dalam model ini, perencanaan dan pembelajaran menyatu dalam dua disiplin yang konsep/gagasannya muncul saling mengisi sebagai suatu sistem.
6. Jala-jala
Dalam model ini, tema/topik yang bercabang ditautkan ke dalam kurikulum. Dengan menggunakan tema itu, pembelajaran mencari konsep/gagasan yang tepat.
7. Untaian Simpul
Dalam model ini, pendekatan metakurikuler menjalin keterampilan berpikir, sosial, intelegensi, teknik, dan keterampilan belajar melalui variasi disiplin.
8. Integrasi
Dalam model ini, pendekatan interdisipliner memasangkan antar mata pelajaran untuk saling mengisi dalam topik dan konsep dengan beberapa tim guru dalam model integrasi riil.
9. Peleburan
Dalam model ini, suatu disiplin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keahliannya, para pebelajar menjaring semua isi melalui keahlian dan meramu ke dalam pengalamannya.
10. Jaringan
Dalam model ini, pebelajar menjaring semua pembelajaran melalui pandangan keahliannya dan membuat jaringan hubungan internal mengarah ke jaringan eksternal dari keahliannya yang berkaitan dengan lapangan.




5.      BAGAIMANA MENURUT PENDAPAT ANDA MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA INI MENJADI LEBIH BAIK

Setiap bangsa mempunyai karakter budaya yang tidak sama. Karakter suatu bangsa bisa mengalami berubahan bisa kearah yang lebih baik bahkan sebaliknya, bahkan bisa hilang sama sekali. Hal ini tergantung bagaimana masyarakat tersebut melindungi atau menjaga karakter budaya yang sudah diberikan oleh nenekmoyangnya.
Pendidikan karekter terdiri dari dua kalimat, yaitu pendidikan dan karakter.Pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Sedangkan karakter yaitu watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan  yang dinyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak. Maka Pendidikan karater yaitu proses pewarisan budaya pada generasi muda untuk membentuk kepribadian sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak.
Pendidikan karakter tertuang dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menyebutkan Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung. Sehingga pendidikan karakter sudah menjadi kewajiban yang harus diberikan pada peserta didik dalam segala satuan pendidikan.
Dalam tujuan pendidikan nasional,  pendidikan karakter merupakan gambaran tentang kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh satuan pendidikan, serta menjadi dasar dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Pendidikan karakter lebih mudah  diberikan pada usia dini, hal ini akan mudah diterima dan tersimpan dalam memori anak,  akan membawa pengaruh pada perkembangan watak dan pribadi anak hingga dewasa. Menurut Daniel Golemen dalam bukunya Kecerdasan Ganda menyebutkan bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan dibutuhkan 80%, sedangkan kecerdasan intektual hanya sebesar 20%. Untuk itu pendidikan karakter akan mudah diberikan  melalui jalur pendidikan, salah satunya adalah pendidika nonformal. Jadi kecerdasan emosional dan sosial lebih membawa dampak pada  perjalanan hidup bahkan karier anak dikemudian hari. Berbagai media bisa digunakan untuk pendidikan karakter, salah satunya melalui Kepramukaan.

Minggu, 21 April 2013

KELUARGA MODERN DAN KELUARGA TRADISIONAL

DEFINISI KELUARGA MODERN
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa keluarga modern adalah suatu bentuk keluarga yang mengikuti trend (peradaban terbaru) sebagai akibat dari penyesuaian-penyesuaian terhadap gejala-gejala baru yang disebabkan oleh semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, seorang wanita yang dahulu hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi pekerjaan rumah, sekarang sudah banyak yang menganyam pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi dan mereka juga sudah banyak yang bekerja di berbagai sektor baik jasa, dagang, kerajinan, dsb. Mereka sudah tidak lagi melulu hanya bekerja di rumah namun bersamaan bekerja disektor lain. Selain itu, teknologi juga sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan keluarga, saat ini banyak kita temukan anggota keluarga yang secara fisik berkumpul di rumah, akan tetapi mereka asyik berhubungan dengan rekan-rekan mereka diluar, baik dengan cara menggunakan telefon, SMS, BBM, facebook, twitter, dsb. Selain teknologi informasi penggunaan teknologi lain seperti mesin cuci, rice cooker, kulkan, kompor gas dsb yang memudahkan pekerjaan keluarga menjadi salah satu ciri dari keluarga modern, namun dibalik-kemudahan-kemudahan yang dihasilkan oleh teknologi modern tersebut, dapat melunturkan rasa saling tolong menolong diantara anggota keluarga dalam hal melakukan pekerjaan rumah, sehingga mereka akan semakin individuslis dalam keluarganya.
KARAKTERISTIK KELUARGA MODERN
Secara umum saat ini di era globalisasi dan modernisasi kondisi keluarga atau struktur keluarga yang berhubungan denga peran mulai berubah karena masyarakat saat ini makin kompleks. Hal ini  dipengaruhi oleh beberapa sebab ,antara lain :
·        Pergeseran dari extended family menjadi nuclear family karena anggotanya semakin menurun.
·        Single parent meningkat karena adanya perceraian
·        Orang berumah tangga tanpa menikah meningkat karena kumpul kebo
·        Rumah tangga yang sendiri atau mandiri meningkat.
·        Adanya pekerjaan perempuan di luar keluarga sehingga pembagian kerja dalam rumah tangga berubah
·        Status perceraian relatif biasa
Salah satu cara berfikir mengenai alasan mengapa terjadi perubahan sosial dan transformasi sosial dalam keluarga yaitu karena suatu masyarakat dan masing-masing bagiannya mempunyai kebutuhan untuk menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik mereka, atau lebih tepatnya menyesuaikan dengan perubahan yang relevan di dalam lingkungan keluarga. Keluarga berubah sejalan dengan perubahan jaman. Perubahan yang diinginkan biasanya diharapkan bermuara pada kesejahteraan dan kebahagiaan, namun kenyataannya yang sering terjadi adalah lain. Kenyataan itu sering diingkari sehingga masalah yang muncul menjadi tambah besar dari yang seharusnya. Sejahtera dan bahagia tidak hanya sebagai tujuan keluarga, tetapi lebih luas dari itu, yaitu tujuan hidup. Untuk mencapainya banyak upaya yang dilakukan. Di antaranya adalah dengan meningkatkan level pendidikan dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Mencapai pendidikan yang tinggi dan masuk dalam pasar kerja berarti mengubah siklus hidup dari orientasi yang tradisional ke modern. Ini belum cukup, sebab berpendidikan dan bekerja berarti pula menunda usia kawin, terutama bagi perempuan. Keadaan ini sangat berperan dalam penurunan fertilitas yang bagi sebagian besar negara berkembang menjadi sasaran penting. Artinya, ukuran keluarga menjadi lebih kecil. Ternyata perubahan ukuran ini membawa perubahan ke berbagai aspek kehidupan keluarga antara lain, dengan rata-rata jumlah keluarga yang mengecil mengakibatkan bentuk keluarga luas (extended family) bergeser ke bentuk keluarga inti (nuclear family). Perlu dicatat bahwa jumlah anak dalam keluarga yang mengecil sejalan dengan penurunan fertilitas bukan satu-satunya penyebab di sini. Namun implikasi dari keluarga kecil terhadap kehidupan sosial dan ekonomi cukup besar. Dengan jumlah yang sedikit dan meningkatnya kemampuan ekonomi menyebabkan bantuan, dukungan ekonomi dan sosial seperti mengasuh anak, dari anggota keluarga luas berkurang. Pada masa transisi seperti ini tampaknya keuntungan ekonomis lebih berpihak pada generasi muda dibanding generasi tua, serta perempuan dibanding laki-laki. Dengan jumlah anak sedikit rata-rata anggota keluarga yang muda mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih baik. Sementara itu, kelompok usia lanjut mulai kurang diabaikan oleh generasi yang lebih muda. Pergeseran bentuk keluarga ini jelas berdampak psikologis bagi anggota-anggotanya. Tidak selamanya dampak tersebut negatif, seperti kurang hangatnya hubungan antar anggota keluarga, tetapi juga positif seperti otonomi individu.
Dalam usaha untuk mengkaji masalah keluarga pada masa kini, maka suatu hal yang sangat relevan untuk dipikirkan adalah masalah industrialisasi dan keluarga. Dimana terjadi suatu perubahan struktur dari masyarakat yang agraris menjadi industrialis. Goode mengemukakan pada masa kini bersamaan dengan proses industrialisasi dapat diamati suatu perubahan ke arah bentuk yang disebut keluarga konjugal. Secara singkat, keluarga konjugal menurut Goode adalah keluarga dimana keluarga batih menjadi semakin mandiri melakukan peran-perannya lebih terlepas dari kerabat-kerabat luas pihak suami istri. Secara ekonomi keluarga konjugal itu berdiri sendiri, tempat tinggal juga secara sendiri, tidak bersatu dengan kerabat luas. Seacar psikologis, satuan yang kecil ini menjadi semakin berdikari. Ini berarti juga bahwa hubungan emosional di antara suami istri lebih sentral dalam kehidupan keluarga yang memang menyebabkan hubungan mereka menjadi akarab. Akan tetapi kemungkinan keluarga pecah juga lebih besar karena yang mengikatnya adalah terutama suami istri itu saja. Sedangkan dalam keluarga tradisional masih ada anggota keluarga luas yang mengikat keluarga kecil.
Sistem ekonomi yang bertopang pada industri, sistem keluarga juga telah berubah dari yang tradisional menjadi modern. Keluarga modern diamsusikan memiliki ciri-ciri tipe keluarga konjugal. Seperti yang telah disebutkan diatas, keluarga konjugal suami istri terlibat dalam hubungan yang setaraf, mempunyai hubungan personal yang akrab, antara anak dan orang tua terdapat hubungan yang tidak otoriter atau berciri demokratis, para remaja kawin dalam umur yang tidak terlalu muda. Perubahan yang berlangsung terhadap keluarga hanya dapat dipahami sepenuhnya bila kita berangkat dari pengetahuan baseline mengenai keluarga dan hal itu harus dilandaskan pada pengenalan sejarah dari keluarga sebagai pranata sosial.
Dalam kajian perubahan keluarga ketika masyarakat mengalami proses industrialisasi, gejala wanita bekerja tentulah menjadi perhatian besar. Adanya perluasan bidang pekerjaan dan pertumbuhan kemandirian keluarga sebagai fenomena yang muncul dalam masyarakat modern mempengaruhi pola pikir khususnya kaum perempuan untuk ikut ambil bagian dalam arena yang penuh persaingan tersebut. Dahulu perempuan dituntut untuk selalu berada di dalam rumah mengurus rumah tangga, anak dan suami, tetapi di jaman modern saat ini kaum perempuan tidak mau lagi selalu berada di lingkungan rumah tangga yang serba terbatas sehingga mereka tidak bisa mengembangkan diri dan kariernya. Dengan perkembangan jaman para perempuan tidak mau lagi hanya berdiam diri di rumah dan menggantungkan ekonominya pada suami. Namun dalam kenyataan sebenarnya bnayak tantangan ternyata presentase wanita bekerja meningkat juga dan kemungkinan besar terjadi karena di pasaran tenaga kerja yang memperoleh pekerjaan yang ditawarkan adalah yang mampu.
Di indonesia kelihatannya arti keluarga luas masih tetap besar, walaupun perubahan masyarakat telah berlangsung ke arah struktur ekonomi yang industrial. Kemungkinan sifat keluarga itu masih tetap akan bertahan, karena individualisme tidak merupakan ciri menonjol. Tetapi kita tidak dapat memsatikan apakah hal itu akan bertahan terus bila proses industrialisasi akan meningkat. Karena itu, maka pengkajian mengenai sistem keluarga dalam masyarakat kita yang sedang berubah akan semakin penting.
Dalam usaha kita untuk mengkaji masalah keluarga pada masa kini,maka suatu hal yang sangat relevan untuk dipikirkan adalah masalah industrialisasi dan keluarga. Dalam buku Goode yang berjudul World Revolution and Family Patterns mengemukakan bahwa pada masa kini bersamaan dengan proses industrialisasi dapat diamati suatu perubahan yang terjadi secara global,yaitu bahwa keluarga di mana-mana mengalami perubahan ke arah bentuk yang dia sebut sebagai keluarga konjugal. Secara singkat keluarga konjugal menurut Goode adalah keluarga di manakeluarga batih menjadi semakin mandiri melakukan peran-perannya lebih terlepas dari kerabat luas puhak suami atau istri.
Secara ekonomi keluarga konjugal itu berdiri sendiri,tempat tinggal juga secara tersendiri,tidak bersatu dengan kerabat luas. Secara psikologis  satuan yang kecil ini menjadi semakin berdikari. Ini berarti juga bahwa hubungan emosional di antara suami istri menjadi lebih sentral dalam kehidupan keluarga yang memang menyebabkan hubungan mereka menjadi akrab. Akan tetapi kemungkinan keluarga pecah juga lebih besar karena yang mengikatnya adalah terutama suami dan istri itu saja,sedangkan dalam keluarga tradisionalmasih ada anggota keluarga luas yang mengiokat keluarga kecil.
KELUARGA MODERN DI INDONESIA
Ada yang mendefinisikan dengan batasan ikatan perkawinan, ada juga yang mendefinisikannya sebagai unit terkecil masyarakat dan bila secara administrasi adalah semua yang tergabung dalam kartu keluarga.Pandangan tersebut sudah tepat. Namun jika mengaitkan peran keluarga terhadap dampak sosial di zaman modern ini, akan lebih mengena bila mendudukkan keluarga itu sebagai ”organisasi terkecil” bukan lagi sekedar unit terkecil yang statis dalam masyarakat. Kita tahu bahwa organisasi itu idealnya memiliki sifat interaktif, saling ketergantungan,pekat dalam komunikasi, dan memiliki tujuan-tujuan dalam arah yang sama.
Di zaman modern ini, keberadaan setiap anggota keluarga berdasar ikatan perkawinan di dalam satu tempat, satu rumah cenderung tidak populer lagi. Kondisi perekonomian yang berkembang, geografis yang berubah, banyak menjadikan mereka hidup berpencar untuk mencari nafkah, belajar,berkarya dengan mobilitas antar wilayah dan lain seperti contohnya di kota Jakarta. Anak rantau makin banyak, bisnis rumah kos, kontrakan dan juga asrama sudah menjamur. Budaya asal mulai memudar karena bercampur dengan aneka budaya di tempat kerja,dan sosialitanya.
Maka sudah saatnya melihat keluarga dengan lebih luas, tanpa terbatas pada ikatan perkawinan saja.Jangan terlupakan bahwa keluarga di zaman modern ini menjadi sebuah institusi yang bisa dalam bentuk sekelompok pekerja, sekelompok permainan, sekelompok tim dengan hobi yang sama,sekelompok persaudaraan dan kelompok- kelompok lain.Dalam bentuk- bentuk seperti itulah pengaruh yang menjalar ke sesamanya lebih efektif.Baik itu pengaruh budaya, pembinaan mental, lingkungan, saling melindungi, ekonomi, dan yang utama juga adalah pengaruh informasi. Kita seakan terlena bahwa kehidupan keluarga seperti ini kadang bisa mengalahkan interaksi dalam keluarga inti.
Coba renungkan, berapa jam, berapa hari kita bisa secara aktif dan berkualitas berinteraksi dengan keluarga inti? Bisa jadi, anak balita yang kita tinggalkan di rumah lebih banyak interaksinya dengan para baby sitter karena lebih dari 9 jam di dekatnya. Tak sedikit para orang tua lebih dari separuh hari melakukan interaksi berkualitas dengan tim kerjanya, dengan teman sosial lainnya, karena sesampainya di rumah sudah letih dan waktunya banyak untuk beristirahat. Nyaris lenyap interaksi berkualitas untuk saling menularkan nilai nilai luhur, cara pandang ”versi keluarga”. Atau bisa sebaliknya, pembantu rumah tangga yang fresh dari desa ke kota bisa mendadak berkembang mental dan kepribadiannya, karena intensif berinteraksi dengan ibu majikan di rumah yang senantiasa mengatur ini dan itu dengan tata nilainya.
Tak terasa, hampir kedelapan fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 (yakni: fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi,pembinaan lingkungan) bisa seolah tergantikan oleh institusi keluarga dalam bentuk lain yang di luar ikatan perkawinan. Tentu saja, Anda sudah pasti menjawab yang tak tergantikan adalah fungsi reproduksi.Tapi untuk urusan membangun mental bangsa,sosialisasi program-program keluarga atau sebaliknya untuk meredam gosip nasional, klarifikasi gunjingan (rumours) menjadi perlu untuk mempertimbangkan fungsi keluarga yang realistis seperti keberadaan institusi keluarga di atas. Keluarga adalah media, bahkan setiap individu adalah media.
Siapa yang didengar dan dipercaya akan menjadi media pengaruh yang ampuh dan meluas.Sehingga apa pun pengaruh yang diharapkan bisa menjadi efektif hanya karena ”media hidup” (bukan terbatas pada media secara harfiah). Perluasan pengaruh yang terjadi di luar keluarga tak ayal karena adanya interaksi keterlibatan, komunikasi yang relatif lebih banyak di luar ”rumah”ketimbang di dalam. Dampaknya,jelas nyata.Di mana individu lebih sering berinteraksi, di sanalah akan lebih banyak memberi kesempatan pikirannya untuk berkembang, Kemudian hal itu bisa masuk menjadi memori dalam pikiran, berkembang menjadi nilai hidup hingga tercermin dalam sikap dan perilaku.
Menyadari pergeseran pola kehidupan sosial di zaman modern ini, tentu setiap keluarga yang sesungguhnya, juga tak ingin kehilangan peran.Untuk itu mari kita rekatkan lagi interaksi keterlibatan dan komunikasi di antara kita sesama anggota keluarga. Dengan keterlibatan yang baik,akan menghasilkan komitmen yang lebih erat. Tanpa adanya keterlibatan (emosi dan interaksi) maka komitmen tak bisa diharapkan. Perlahan dan pasti, mari bergeraklah semua untuk keterlibatan masing-masing diri kita dalam keluarga. Merekatkan lagi yang renggang, memperjelas lagi nilainilai luhur, budi pekerti, moral dan saling mengingatkan lagi untuk jalin komunikasi sesama dan vertikal pada Sang Pencipta.
Karena bagaimanapun yang melekat secara formasi adalah keluarga yang berdasar ikatan perkawinan, sedangkan lainnya akan senantiasa berubah (pindah kerja,pindah tempat tinggal,berganti komunitas). Dalam keluargalah, awal pembentukan nilai-nilai luhur kehidupan, bilamana tertanam dengan kuat maka akan menjadi prinsip hidup yang dipertahankan walaupun berada dalam lingkungan atau institusi keluarga baru. Lingkungan jangan menyetir diri menjadi sesat, melainkan kita cipta bersama agar menjadikan individu berkembang dewasa.
KELUARGA TRADISIONAL
Menurut Departemen Kesehatan RI (1988) dalam Ali (2010), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling bergantung.
Ali (2010) mengatakan keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, dan adopsi dlam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.
Menurut BKKBN (1999) dalam Sudiharto (2007) keluarga adalah dua orang atau lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dam materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya.
Pada awalnya dalam Encyclopedia of Social Work, disebutkan bahwa bentuk keluarga berdasarkan variasi keanggotaan adalah sebagai berikut.
Beberapa tipe bentuk-bentuk keluarga tradisional yaitu:
·        Standard nuclear family :
Suami, istri, dan anak-anaknya tinggal di satu rumah tangga dengan suami pekerja dan istri sebagai pekerja rumah tangga (household worker).
·        Dyadic nuclear family
Suami dengan istri tanpa anak tinggal di satu rumah dan salah satu atau keduanya bekerja mencari nafkah.
·        Dual work family 
Kedua pasangan bekerja sebagai kesepakatan dari perkawinannya.
·        Single parent family
Salah satu orangtua tinggal serumah, biasanya dengan anak pra sekolah dan usia sekolah sebagai konsekuensi dari perceraian, ditinggal pergi, meninggal tanpa sumbangan finansial dari pihak lain.
·        Three generation family
Tiga generasi tinggal bersama dalam satu rumah tangga
·        Middle age or eiderly couple
Suami atau istri bekerja dan salah satu tinggal di rumah, sementara anak-anak sibuk menuntut ilmu, mengejar karir atau menikah.
·        Second career family
Istri bekerja atau membantu orangtuanya ketika anak sedang di sekolah (bekerja part time).
·        Kin network :
Tipenya adalah keluarga inti yang hidup bersama tanpa menikah, mereka saling melayani sesuai kesepakatan tanpa diatur oleh peran-peran tradisional.
·        Remarried family
Telah bercerai dalam beberapa waktu dan kembali menikah.
Sesuai perkembangannya tipe keluarga tradisional menjadi bergeser, Tipe keluarga tradisional yaiitu:
·        The Nuclear family (Keluarga inti) yaitu keluarga yang terdiri dari suami istri dan anak (kandung atau angkat).
·        The dyad family , suatu rumah tangga yang terdiri dari suami istri tanpa anak.
·        Keluarga usila, Keluarga terdiri dari suami dan istri yang sudah usia lanjut, sedangkan anak sudah memisahkan diri.
·        The childless, Keluarga tanpa anak karena telambat menikah, bisa disebabkan karena mengejar karir atau pendidikan.
·        The Extended family , keluarga yang terdiri dari keluarga inti ditambah keluarga lain, seperti paman, bibi, kakek, nenek dan lain-lain.
·        “Single parent” yaitu keluarga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak (kandung atau angkat). Kondisi ini dapat disebabkan oleh perceraian atau kematian).
·        Commuter family, kedua orang tua bekerja diluar kota, dan bisa berkumpul pada hari minggu atau libur saja.
·        Multigeneration family, Beberapa generasi atau kelompok umur yang tinggal bersama dalam satu rumah.
·        Kin-network family, beberapa keluarga yang tinggal bersama atau saling berdekatan dan menggunakan barang-barang pelayanan seperti dapur, sumur yang sama.
·        Blended family, keluarga yang dibentuk dari janda atau duda dan membesarkan anak dari perkawinan sebelumnya.
·        “Single adult living alone” yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang dewasa
            Alasan Terjadinya Pergeseran Nilai Keluarga dalam peradaban umat manusia sejatinya dibangun dari unit lembaga sosial terkecil yang disebut sebagai keluarga. Satuan lembaga sosial tekecil ini terdiri dari bapak, ibu dan anak. Keluarga merupakan sistem sosial yang dinamis, yang memiliki peran khusus di segenap institusi sosial lainnya. Will Durant, sejarawan AS dalam bukunya berjudul The Pleasure of Philosophy, menulis, “Keluarga adalah fundamen paling dasar seluruh peradaban yang pernah diketahui oleh sejarah. Keluarga merupakan unit ekonomi dan produksi masyarakat. Pasalnya, seluruh anggota keluargalah yang telah menanami bumi. Kekuasaan seorang bapak terhadap keluarganya, menjadikannya sebagai pemerintahan kecil yang mendukung pemerintahan besar. Keluarga adalah unit budaya, melalui pendidikan dan pengajaran anak-anaknya, ia wariskan tradisi dan seni para penduhulunya.
Keluarga juga merupakan unit moral, yang mengajarkan pada anggotanya bahwa kerjasama dan prinsip kedisiplinan merupakan pondasi spritualitas masyrakat. Dalam situasi tertentu, peran keluarga lebih penting dari pemerintah. Ketika tidak ada lagi pemerintahan, namun bangunan keluarga masih bertahan, maka peluang tetap terjaganya keteraturan sosial masih terbuka lebar. Inilah keyakinan para sosiolog yang percaya, dengan hancurnya keluarga, maka hancur pula peradaban manusia”.
Pada jaman kita sekarang, seluruh upaya untuk meraih keberhasilan di bidang ilmu pengetahuan, dan teknologi maju telah berkembang dangan begitu pesatnya, hingga terkadang nilai-nilai kemanusiaan yang paling asasi pun harus terkorbankan. Dalam situasi semacam itu, tiap kali peradaban manusia mengalami kemajuan, institusi keluarga pun semakin terancam, dan mengalami perubahan juga. Sepertinya, langkah yang ditempuh manusia modern saat ini, sejengkal demi sejengkal telah melangkah ke belakang kembali. Munculnya model keluarga singel parents atau orang tua tunggal yang mencakup sepertiga jumlah keluarga sekarang ini,  telah memantik banyak pertanyaan baru bagi para sosiolog dan psikolog. Sejumlah permasalahan pelik, seperti tekanan mental, masalah pendidikan, dan masa depan anak-anak mereka serta krisis psikologis dan fisik yang menyertai keluarga single parent merupakan problema pokok masyarakat saat ini. Kini, model keluarga tradisional yang terdiri dari suami, istri dan anak telah berubah menjadi model yang lain. Kian berkembangnya keluarga tanpa bapak dan ibu, anak-anak tanpa wali, atau anak-anak yang terbiasa hidup dengan kakek dan nenek mereka, ataupun kehidupan bersama tanpa ikatan suami-istri, merupakan model lain keluarga modern yang telah menuai banyak kekhawatiran di tingkat global. Sejumlah sosiolog seperti,
Simon Duncan dan Rosalind Edwards, menilai, sekarang ini tengah terjadi perubahan jangka panjang pada model keluarga dan hubungan antara lelaki dan perempuan. Tekanan ekonomi, tuntutan karier masing-masing pasangan, dan kian bebasnya hubungan di luar nikah merupakan sejumlah faktor penyebab terjadinya perubahan tersebut. Dikeluarkannya sejumlah data mengenai runtuhnya sturuktur keluarga menunjukkan, bahwa intitusi sosial yang satu ini tengah mengalami kerusakan yang parah dan memerlukan perhatian yang lebih serius lagi.